GenPI.co - Semua orang punya masalah, begitu pun aku. Namun, aku merasa masalahku ini paling besar dari kebanyakan orang. Hingga akhirnya aku berniat untuk mengakhiri hidup.
Aku berdiri di jembatan dan siap melompat. Saat itu, hanya keputusasaan yang ada dalam benakku. Rasanya aku sudah tak sanggup melanjutkan hidup.
Selesai, semuanya sudah selesai. Aku berpikir, tak ada jalan lain selain mati. Rasanya dunia ini sudah hampa dan enggan untuk ditinggali.
Namun, sebelum kakiku melangkah dan menerjunkan tubuhku, tiba-tiba ada seseorang yang menahan tubuhku.
Orang itu bernama Tegar. Aku tak kenal siapa dia, tetapi dia tiba-tiba muncul dan memberiku petuah panjang lebar.
Aku hanya terdiam tak berkata apa pun. Aku kesal, karena niatku telah digagalkan olehnya.
“Kalau hanya perkara putus cinta, lalu memutuskan bunuh diri, itu sih keputusan yang tolol,” ucap Tegar.
“Bukan, lebih dari itu,” kataku.
“Yah, apa pun itu, sikap kamu itu salah,” kata Tegar.
Sebulan setelah kejadian itu, kami pun jadi dekat dan kami memutuskan untuk pacaran.
Tegar ternyata punya masalah yang sama sepertiku. Dia mengaku pun pernah mencoba bunuh diri, tetapi dia sadar itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Hubunganku dengan Tegar berjalan mulus hingga dua tahun. Namun, ketika kami akan memutuskan untuk menikah, ternyata kedua orang tua Tegar tidak merestuinya.
Entah apa sebabnya. Saat aku dikenalkan dengan kedua orang tuanya, rasanya ada yang aneh. Seolah orang tuanya jijik melihatku.
Masalah restu orang tua itu pun menjadi masalah baru bagiku. Dua bulan kami berusaha meyakinkan orang tua Tegar untuk menerimaku, tetapi rasanya sulit.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan. Namun, bagaimana pun Tegar sudah menyembuhkan aku dari luka lama, meskipun saat ini dia menjadi luka baru bagiku. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News