GenPI.co - Namaku Eliza, aku adalah mahasiswi yang sedang berkuliah di kota Jogja dan sedang menyelesaikan tugas akhir dari kampus karena mau tidak mau, aku harus lulus secepatnya.
Hal-hal terkait percintaan dan perluliahan di masa remaja ini membuatku sangat pusing. Aku tidak tahan lagi dengan semua ini.
Bayangkan, skripsiku saja sudah memusingkan. Ditambah lagi dnegan tingkah pacarku yang sangat meyebalkan dan bisa membuat naik darah setiap saat.
Nama pacarku Gio, dia adalah orang yang cukup cerewet dan tidak sabaran. Selain itu, dia juga telah bekerja di sebuah perusahaan sehingga aku seringkali dilupakan.
Karena hal tersebut, akhirnya aku menjadi stres dan mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa tidak nyaman tersebut.
Sampai pada akhirnya, aku menemukan sebuah aplikasi online yang bisa mempertemukan aku dengan orang-orang. Bahkan, banyak pula yang berhasil mendapatkan pasangan di sini.
Bukan karena aku tidak suka lagi dengan Gio, namun aku membutuhkan sosok yang bisa kuajak berbicara dan bercerita agar rasa lelah di hatiku sirna.
Akhirnya, aku menemukan seseorang. Namanya adalah Andi, dia adalah orang yang sangat berbeda dengan Gio. Andi sangat dewasa dan tidak pernah membuatku marah.
“Eliza, kamu tinggal di mana sih? Aku tinggal di Jogja juga lho,” ujar Andi lewat pesan teks aplikasi.
“Oh iya? Aku enggak jauh dari kampus A sih, memangnya kenapa? Mau ngajak main ya?” ucapku.
“Hehehe, iya nih. Tapi, nanti ada yang marah enggak?” tanya Andi.
Beberapa detik setelah membaca pesan tersebut aku tersadarkan bahwa aku memiliki pasangan. Waktu ini berjalan sangat lambat, sehingga aku bisa menentukan jawaban yang tepat.
“Mungkin ada, tapi enggak perlu terlalu dipikirin,” ucapku.
“Lho, kenapa? Kalau ada yang marah kayaknya enggak usah ketemu deh,” ucap Andi.
“Ya, enggak apa-apa. Lagi pula orang yang mungkin marah itu enggak ada di sini,” tuturku.
“Terus dia di mana?” tanya Andi.
“Lagi di luar kota karena dinas kerja. Kita pergi aja yuk? Boleh aku minta nomor whasap kamu?” k ujarku.
Tidak lama setelah itu, kami pun selalu menghubungi satu sama lain tanpa diketahui oleh Gio. Aku selalu berhasil menyembunyikan sosok Andi dan membuatnya seakan-akan tidak ada.
Namun, aku tidak pernah merasa bersalah sampai akhirnya aku menyadari ada sesuatu yang salah dari pilihanku.
Setelah aku berjanji untuk menemui Andi, akhirnya kami bertemu di sebuah kafe. Kafe tersebut rupanya milik teman dari Andi.
“Gimana tempatnya? Asik enggak? Semoga suka ya,” ucap Andi.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara teleponku berbunyi. Ternyata Gio sedang menghubungi aku. Aku pun merasa panik dan merasa gelisah.
Meski begitu, lagi-lagi waktu terasa lambat dan akhirnya aku bisa melakukan keputusan yang sangat tepat.
“Kamu di mana?” ucap Gio lewat pesan teks whasap.
“Aku di kost, aku enggak enak badan. Jangan telepon dulu ya, kepala aku migrain,” ucapku.
“Oh gitu, yasudah. Kamu mau dibawain makanan apa?” ucap Gio.
“Enggak usah dibawain apa-apa, kamu enggak usah ke sini nanti ketularan. Besok kalau sudah sembuh, baru, deh, kamu mampir ke kost,” kataku.
Setelah berbalas pesan, akhirnya Gio mengakhiri percakapan. Aku pun memalingkan wajahku kepada Andi. Dia tetap tersenyum walaupun aku sempat membuatnya menunggu.
“Gimana? Udah selesai urusannya?” ujar Andi.
“Udah kok, makasih ya udah mau nungguin,” ucapku.
“Enggak apa-apa kok, santai aja,” kata Andi.
Setelah setelah jam berlalu dan kami sedang asyik mengobrol dan bercakap. Akhirnya aku dibuat terkejut dengan kedatangan Gio.
Aku sangat panik hingga dadaku terasa sesak. Aku tidak bisa menahan air mataku yang terus mengalir setelah melihat Gio ada di depan mataku dan melihat aku sedang berbohong.
“Eliza, kamu udah sembuh sakitnya?” ucap Gio.
“Sayang, aku bisa jelasin kenapa aku pergi sama orang lain dan bohong sama kamu,” ucapku.
“Enggak apa-apa kok. Jadi, gimana? Asyik pergi sama adik aku?” ucap Gio sambil memberikan tatapan menyeramkan ke arahku.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News