GenPI.co - Assalamualaikum, perkenalkan namaku Dita Paramitha, wong Jowo asli. Usiaku 23 tahun.
Ini kisah perjalanan menjadi mualaf. Sejak kecil aku sudah mengikuti praktik salat, tepatnya saat duduk di bangku SD.
Terlebih, di sekitarku termasuk keluarga banyak yang muslim. Itu salah satu alasanku mualaf.
Temanku juga sering mengajakku untuk ikut ke masjid dan menjadi remaja aktif di sana.
Bahkan, aku juga mengikuti ibadah puasa meski tidak tahu maknanya.
Saat itu aku masih mengikuti kepercayaan orang tua. Namun, setelah usiaku 17 tahun, aku memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Jujur, perasaan ini sungguh campur aduk. Sangat luar biasa bahagianya.
Entah mengapa, aku merasa hatiku terasa tenang dan seperti bayi yang baru lahir.
Aku tidak hiperbola. Ini sungguh-sungguh ungkapan hatiku.
Puasa pertama saat itu aku merasa sangat berat. Biasanya, saat kecil aku hanya mengikuti teman-teman untuk sahur dan puasa.
Namun, teman-teman tidak tahu setelah di rumah aku segera makan. Jadi, sebulan berpuasa saa itu rasanya tak sanggup.
Aku pun beberapa kali batal puasa lantaran melihat Gudeg, makanan favoritku yang sering disajikan ibu.
Sungguh nafsu yang tidak bisa ditahan menurutku.
Setelah memutuskan menjadi mualaf, alhamdulillah keluarga semua baik. Meski awalnya mereka terkejud dan tidak menyangka.
Dua tahun aku menjalai kehidupan sebagai seorang muslimah, mereka justru mendukungku bukan malah membuatku khawatir.
Karenanya, aku bahagia dengan hidupku sekarang. Aku merasa hari-hariku banyak perubahan ke arah yang lebih baik.
Untuk mengaji aku masih dalam tahap belajar. Setiap Rabu malam, guru ngajiku selalu datang untuk mengajariku.
Menuju bulan suci Ramadan ini aku sangat berharap untuk bisa khatam Alquran dan makin mencintai Allah SWT.
(Kisah mualaf seperti yang dituturkan Dita kepada GenPI.co)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News