GenPI.co - Aku tahu ada perbedaan prinsip dengan Rara. Aku mencintainya dengan hati paling dalam.
Dia? Aku tidak tahu. Tidak ada kepastian tentang hubungan kami. Aku seperti sudah pasrah dengan semuanya.
Kalau ditanya apakah lelah, aku akan menjawab dengan tegas. Sangat lelah. Aku selalu tidak bisa menemukan cara mendapatkan hatinya.
Jangankan hatinya. Aku bahkan tidak bisa mendapatkan perhatiannya sedikit pun.
“Aku harus bagaimana?” tanyaku kepada Rara.
Saat itu, aku menemui Rara di bandara. Dia harus segera terbang ke luar negeri. Dia akan bekerja kembali setelah mudik.
“Soal apa?”
“Soal kita,”
“Kita kenapa?”
“Kenapa berputar-putar kayak begini?”
Dia tidak menjawab. Aku terus menunggu jawaban darinya. Namun, Rara masih terdiam. Dia bermain dengan pikirannya sendiri.
Hubunganku dengan Rara memang tidak jelas. Ini kali pertama aku memberanikan diri menemuinya.
Aku mengumpulkan semua kepingan keberanian di hatiku. Aku hilangkan ruam-ruam keraguan.
Beberapa hari lalu Rara mengabari dirinya sedang di Indonesia. Dia sedang berada di kelab malam di kawasan Senopati, Jakarta.
Saat itu, aku juga sedang di luar bersama teman-temanku. Aku ingat saat itu Jumat malam.
Biasanya, aku dan teman-temanku memang nongkrong setelah pulang kerja. Kami sekadar ngopi atau minum bir.
“Helloss, kamu di mana?”
“Kenapa, Cintaku?” jawabku.
Aku memang selalu menjawab dengan kata “cintaku” ketika Rara menyapaku lewat chat WhatsApp (WA).
“Aku di Senopati,”
“Sampai jam berapa?”
“Setengah tiga,”
Aku melirik jam di HP. Masih pukul satu. Ada waktu 1,5 jam bagiku untuk menemuinya.
“Kamu pulang pagi aja,”
“Nggak mau. Habis ini aku pulang,” jawab Rara.
Kuputuskan menemuinya dengan sisa-sisa keberanianku. Dia langsung memelukku saat aku sampai. Pelukan yang hangat. Sangat erat.
Ini kali pertama dia memelukku. Aku juga baru pertama memeluknya. Semuanya terasa indah. Padahal aku dan Rara tidak pacaran.
Tiba-tiba aku mencium bibirnya. Semuanya berjalan dengan cepat. Dia juga menyambut ciumanku.
“Eh…,” Rara tampak kaget.
Namun, dia tidak marah. Aku merasa dia bahagia. Aku? Jangan ditanya. Dadaku terasa mau meledak. Kami ngobrol sebentar, lalu pulang.
Keesokan harinya, semuanya kembali seperti biasanya. Dia berubah menjadi Rara yang biasanya. Dingin. Cuek. Tidak peduli.
Percakapan kami hambar lagi. Ketika dia sudah sampai di negara tempatnya bekerja, semuanya jauh lebih datar.
Kenangan indah di Jakarta menghilang begitu saja. Aku mencoba membuka omongan via WA. Gagal. Tanggapannya selalu dingin.
Sampai akhirnya aku mengambil kesimpulan: mencintainya adalah dua pilihan, percaya diri atau tahu diri. Aku sekarang memilih tahu diri. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News