GenPI.co - Rintik hujan masih membasahi tanah. Pikiranku kelu. Aku selalu memikirkan Anto.
Hujan selalu gagal menghanyutkan kenanganku. Jangankan hanyut. Kenanganku terhadap Anto justru makin menggebu.
“Wina, kamu mau menunggu aku?” tanya Anto.
Aku masih ingat pertanyaan itu. Dia mengucapkannya di rumahku. Saat itu, aku sengaja membiarkan Anto.
Aku tidak memberikan jawaban. Anto terdiam. Aku bermain dengan pikiranku sendiri.
Entah kenapa aku merasa bodoh setelahnya. Kenapa aku tidak menjawab pertanyaannya saja?
Sejak saat itu, Anto mulai menghindar. Aku tidak tahu apakah dia memang sengaja menjauh atau hanya ingin memiliki waktu sendiri.
Yang kutahu hanyalah dia sudah tidak menggebu-gebu seperti biasanya. Aku merasa pendaran perasaannya memudar.
Anto yang sekarang beda dengan dahulu. Jangankan datang ke rumahku. Menghubungiku pun tidak.
Aku pernah mencoba menghubunginya. Jawabannya sekenanya. Aku malah terkena hunjaman dari pesannya.
Anto tidak mau berpanjang lebar dengan obrolannya. Dia hanya menjawab sepatah demi sepatah kata.
“Kamu di rumah nggak?” aku mengirimkan pesan.
Anto membalasnya dua hari kemudian. Sialan, batinku. Begini amat balasannya. Namun, aku juga tersadar.
Sebelum Anto melakukannya, aku sudah memulainya. Jangankan mengirimkan kabar.
Membalas pesan pun jarang kulakukan. Aku juga tidak mengerti dengan perasaanku. Aku memang cinta kepadanya.
Aku menyayanginya. Aku sudah mengaguminya sejak lama. Namun, bibirku selalu terkunci rapat saat Anto memintaku menjadi pacarnya.
“Aku sayang kamu. Aku akan menunggumu,”
Aku memberanikan diri mengirimkan pesan itu. Tidak ada jawaban dari Anto. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News