Ramadan di Eropa: Durasi Panjang, Cuaca Panas, Takjil Berlimpah

13 April 2021 18:32

GenPI.co - Tak terasa Ramadan sudah kembali hadir menyapa umat Islam di seluruh dunia.

Hal ini tentu membuatku harus bersiap-siap kembali menjalani bulan suci jauh dari rumah tahun ini.

BACA JUGA: Puasa di London: Aku Temukan Restoran Menu Indonesia, Tetapi...

Namaku Airis Sabriena. Aku mahasiswi S-2 di Sorbonne University Pierre and Marie Curie Campus, Paris, Prancis.

Tahun ini memang bukan kali pertama aku menjalani Ramadan di luar negeri.

Sebab, aku dulu menyelesaikan studi S-1 di The Hague University of Applied Sciences, Belanda.

Walaupun baru pertama kali berpisah lama dengan keluarga saat menjalani S1 di Belanda, aku sudah beberapa kali berpindah tempat tinggal dan sekolah selama di Indonesia.

Jadi, aku terbiasa berpindah-pindah dan tak merasa kaget saat harus merantau lagi.

Jujur, aku merasa sangat cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.

Saat pertama kali tiba di Belanda dan Prancis, aku sama sekali tak mengalami culture shock.

Namun, satu hal yang membuat aku kaget saat menjalani Ramadan di Eropa adalah durasi puasa bertambah tiap harinya.

Apalagi, Ramadan biasanya jatuh tepat pada musim panas di Eropa.

Karena terletak di bagian utara Bumi, siang hari di Eropa saat musim panas bisa mencapai 19 jam.

Aku sempat merasa lemas dan tak kuat menjalani puasa dalam durasi selama itu dibarengi dengan berbagai aktivitas, seperti kuliah dan lain sebagainya.

Apalagi, aku tak naik mobil selama di Eropa. Jadi, mobilitas sehari-hari kujalani dengan berjalan kaki, bersepeda, dan naik metro.

Suhu udara di Eropa saat musim panas bahkan bisa mencapai 40 derajat Celsius.

Banyak orang yang sedang berpuasa di Eropa biasanya mengalami anemia, dehidrasi, bahkan hingga pingsan.

Selain itu, saat sampai di rumah tinggalku, aku harus masak untuk diriku sendiri.

Sebab, tak ada Ibu yang biasa memasakkan makanan favoritku seperti saat aku sedang berada di Indonesia.

Walaupun merasa kewalahan dan lelah, aku tetap berusaha menjalani ibadah puasa saat Ramadan.

Jika merasa tak kuat, aku tidak puasa sama sekali. Namun, utang puasa itu aku ganti saat sedang musim dingin.

Sedikit curang, sih, karena saat musim dingin, waktu siang memang lebih pendek.

Selama Ramadan, banyak makanan khas mulai bermunculan, baik di Belanda maupun Prancis.

Di Belanda banyak sekali warga negara Indonesia. Jadi, takjil khas Indonesia berlimpah di sana.

Namun, tak usah khawatir jika tak mendapatkan yang sudah jadi. Sebab, banyak toko di Belanda yang menjual bahan-bahan untuk memasak takjil di rumah sendiri.

Sementara itu, di Prancis agak sedikit berbeda suasananya. Sebab, di sana lebih banyak dijual makanan ringan manis khas Turki di beberapa toko kue.

Makanan manis itu juga dibagikan di masjid-masjid menjelang waktu berbuka. Jadi, aku kadang tak perlu beli.

Waktu ibadah saat Ramadan juga terasa selama aku menetap di Eropa.

Karena siang harinya lebih lama dari waktu malam, salat Tarawih biasanya mulai pada pukul 11 malam sampai pukul 1 dini hari. Sementara itu, pukul 3 dini harinya aku sudah harus makan sahur lagi.

Aku juga mengalami pengalaman lucu saat menjalani salat berjemaah di masjid orang Turki.

Pasalnya, selesai membaca surah Al-Fatihah, tidak ada jemaah yang mengucapkan amin dengan lantang.

Hingga hari ini, pengalaman itu masih membuatku tergelitik.

Menurutku, kita harus mengubah stigma dan tak perlu takut tidak menemukan umat Islam di Eropa.

Di Belanda dan Prancis, masjid banyak sekali dan kegiatannya pun aktif.

Beberapa komunitas pemuda dan perempuan masjid juga aktif memberikan informasi kepada wisatawan dan pendatang muslim untuk memberi tahu fasilitas apa saja yang bisa diakses selama berada di kota tersebut.

Saat Idulfitri datang, biasanya KBRI akan menggelar salat Id berjemaah dan menyiapkan menu khas Lebaran di Indonesia.

Aku biasanya datang ramai-ramai bersama teman-temanku. Namun, biasanya kami tak berharap akan mendapatkan seporsi makanan Lebaran.

Kami bahkan bisa berebut nomor antrean saat hendak membeli setoples nastar yang dijual di KBRI.

Aku beberapa kali juga merasa dibohongi oleh penjual nastar di Paris. Sebab, biasanya mereka bilang nastarnya berisi selai nanas. Namun, setelah kumakan, isinya selai cokelat.

Hal itu lantas membuatku dan teman-temanku belajar membuat nastar sendiri di rumah tinggal kami.

Sayangnya, aku tak jago membuat nastar. Jadi, aku terkadang memesan nastar ke temanku jika dia bersedia untuk buka pre-order.

Hingga hari ini, aku merasa bahagia menjalani Ramadan di Eropa. Aku juga tak merasa ibadahku terganggu selama menetap di Eropa untuk meneruskan studi dan pekerjaanku di sini.

BACA JUGAKenangan Ramadan Muhammad Al Jufri, Rindu Perang Sarung

Pasalnya, menjalani ibadah adalah urusan pribadi masing-masing orang.

Jika memang sudah berniat untuk khusyuk dalam beribadah, semua urusannya pasti akan lancar-lancar saja.

(Airis Sabriena, Belanda)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co