GenPI.co - Vonis hukuman denda Rp 20 juta subsider lima bulan kurungan untuk eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam perkara kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menjadi sorotan beberapa pihak.
Apalagi, vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa yang meminta Habib Rizieq dihukum 10 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Salah satu yang menyoroti vonis Habib Rizieq itu adalah Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha.
"Jauh sekali jarak antara majelis hakim dan jaksa penuntut umum dalam perkara Megamendung dengan terdakwa HRS," jelas Rachman Thaha dalam keterangannya, Jumat (28/5).
Rachman Thaha membeberkan, pada umumnya dalam persidangan di banyak negara, hukuman penjara diberikan hanya kepada terdakwa yang melakukan kejahatan kelas berat.
Sedangkan denda diberikan kepada pelaku yang perbuatan pidananya dinilai ringan.
Politikus ini pun mengungkapkan, bahwa kian nyata perbuatan pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) terdakwa Habib Rizieq memang tergolong ringan.
"Astaga, ini makin terkoreksi anggapan komplotan buzzer bahwa HRS sejatinya bukan orang yang berpotensi membahayakan orang banyak," jelas senator dari Kota Palu itu.
Menurut Rachman Thaha, hukuman denda memang cara untuk mengubah tindak-tanduk terdakwa.
Namun, karena dia tidak dipenjara, maka bisa dipahami upaya mengubah terdakwa sama sekali tidak perlu dilakukan dengan menjauhkannya dari publik.
"HRS tetap dibolehkan beraktivitas asalkan tidak dengan melanggar prokes," bebernya.
Oleh sebab itu, Rachman Thaha mengungkap berbagai macam bentuk kegiatan yang terindikasi kuat melanggar protokol kesehatan (prokes), bahkan yang sengaja dilakukan oleh sekian banyak pejabat negara, tokoh elite, dan selebritas.
"Faktanya sampai saat ini tidak diproses hukum sama sekali. Padahal, beberapa di antaranya punya skala yang sangat besar. Apakah mereka dibiarkan atau diam-diam telah ditindak lewat restorative justice, tak ada kabarnya yang bisa disimak di media massa," ungkap Rachman Thaha.
Namun, kalau mereka ditangani lewat restorative justice, lembaga penegakan hukum masih perlu menjelaskan mengapa masalah Habib Rizieq tidak diproses dengan cara yang sama.
"Penyikapan terhadap pelaku-pelaku pelanggaran prokes harus benar-benar transparan dan akuntabel. Jika diabaikan, akan terbaca kesan diskriminatif dan itu bukan watak kebangsaan yang baik dalam konteks penegakan hukum," tegas Rachman.
Pasalnya, sikap tebang pilih hukum terhadap Habib Rizieq dan terhadap pihak-pihak ternama selain Habib Rizieq akan membuat rendahnya derajat konsistensi penegakan hukum. Konsistensi yang rendah akan mengecilkan efek jera.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News