Wamenkumham Sebut Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan

26 Mei 2022 09:46

GenPI.co - Penghinaan presiden dan wakil presiden masuk delik aduan sebagaimana putusan mahkamah konstitusi (MK).

Hal tersebut dikatakan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di DPR RI, Rabu (25/5).

Dia menjelaskan, RUU KUHP sudah masuk prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022. 

BACA JUGA:  Warning Untuk Mafia Tanah, Mahfud MD Tak Beri Ampun

Selain itu, RUU KUHP juga direncanakan diselesaikan dalam masa sidang ke-5 tahun 2022 ini dan isu-isu kontroversi ada beberapa hal yang hapus.

“Kami hapus menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), lalu ada yang tetap tapi ada yang melakukan reformulasi,” kata pria yang akrab disapa Eddy itu.

BACA JUGA:  Mahfud MD Sebut LGBT Masuk RKUHP, Wamenkumham Beri Bantahan

Dia mengatakan penghapusan isu kontroversi tidak menghilangkan substansi.

“Kita melakukan penghalusan terhadap bahasa yang ada,” ujarnya. 

BACA JUGA:  Dasco: Penunjukan Luhut Pandjaitan Wewenang Presiden Jokowi

Eddy mengatakan ada pembaharuan pada isu kontroversial dalam RUU KUHP. 

Pertama terkait the living law, pemerintah ingin memberikan penjelasan dan tidak mengubah norma. 

Dia menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat.

“Sekali lagi bapak, ibu, ini kita tambahkan dalam penjelasan, jadi tidak mengubah norma,” tegasnya.

Kedua, Eddy melanjutkan pidana mati yang diatur pada Pasal 100. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok.

Pada RUU KUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. 

Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu (paling lama 20 tahun) dan pidana penjara seumur hidup.

“Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1). Mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101,” papar Eddy.

Selain itu, Eddy menjelaskan tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wapres pada Pasal 218. 

Ada perubahan dari delik yang biasa menjadi delik aduan, jadi sama sekali tidak membangkitkan pasal yang dimatikan oleh MK yakni delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP adalah delik aduan.

“Sementara kami menambahkan pengadilan dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan Wapres,” katanya. 

Dia mengatakan ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk atau dengan kepentingan umum. 

“Jadi ini berbeda dengan apa yang dimatikan oleh MK,” tutup Eddy.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred Reporter: Mia Kamila

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co