GenPI.co - Mantan pengacara Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, Deolipa Yumara melayangkan surat resmi kepada Komnas HAM perihal keberatannya atas laporan lembaga itu dalam kasus Brigadir J.
Deolipa sendiri telah mengirimkan suratnya pada Jumat, 9 September 2022.
"Kami yang bertandatangan di bawah ini, berkenan menyampikan kebaratan atas tindakan faktual berupa pernyatan media dan laporan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM, sehubungan dengan penyidikan kasus meninggalnya Almarhum Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat," ujarnya dalam surat.
Deolipa menyatakan keberatannya atas pernyataan Komnas HAM yang mengatakan bahwa istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi mendapatkan pelecehan dari Brigadir J saat berada di Magelang, Jawa Tengah.
Padahal, laporan dugaan kasus pelecehan tersebut telah dihentikan oleh polisi lantaran tidak ditemukan peristiwa pidananya.
Berikut 5 poin keberatan Deolipa Yumara terhadap Komnas HAM dalam kasus Brigadir J:
Deolipa menggarisbawahi kewenangan Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah jelas diatur dalam ketentuan pasal 20 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Sementara, dalam penyidikan meninggalnya Almarhum Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, Komnas HAM telah bertindak melampaui kewenangan sebagaimana dimaksud di atas.
Deolipa mengaku telah menemukan fakta adanya pernyataan media dan laporan hasil penyelidikan yang dikeluarkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia, yang dinyatakan melalui media pemberitaan pada Kamis (1/9).
Kutipan lengkapnya sebagai berikut:
"Komnas HAM menduga kuat peristiwa pembunuhan Brigadir Yosua (Brigadir J) didahului oleh peristiwa kekerasan seksual. Kekerasan seksual itu diduga dilakukan oleh Yosua terhadap istri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, di Magelang, Jawa Tengah." kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 1 September 2022.
"Terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Saudari PC (Putri Candrawathi) di Magelang, tanggal 7 Juli 2022," sambungnya.
Deolipa menyebut pernyataan dan laporan hasil penyelidikan masuk dalam dalam kategori Tindakan Faktual (vide Pasal 1 butir 8 juncto Pasal 87) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang melawan hukum.
Sebab, pernyataan tersebut tidak didasarkan pada bukti yang cukup, tetapi hanya berupa keterangan sepihak dari saksi yang telah dikenakan status sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian.
Bahwa merujuk pada kewenangan yang dimiliki, maka seharusnya Komnas HAM mengeluarkan suatu rekomendasi tentang ada tidaknya temuan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus yang sedang dilakukan penyidikan.
Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Vide Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3), Deolipa mengajukan keberatan atas pernyataan tersebut.
Alasannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dengan ketentuan Pasal 2 Perma 2 Tahun 2019 mengenai Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum, oleh penguasa, oleh Badan dan atau/pejabat pemerintahan.
Melalui suratnya, Deolipa meminta Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM untuk menarik, mengklarifikasi pernyataan, dan laporan hasil penyelidikan tersebut.
Sebab, Komnas HAM dinilai melakukan tindakan yang melampaui kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999.
Selain itu, Komnas HAM juga dinilai bertentangan dengan prinsip asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News