GenPI.co - Tragedi yang menewaskan 328 fans sepak bola di Peru juga disebabkan oleh tembakan gas air mata.
Gas air mata menjadi sorotan setelah laga lanjutan Liga 1 2022/23 yang mempertemukan Arema FC vs Persebaya Surabaya berujung pada kerusuhan dan memakan 187 korban jiwa di Stadion Kanjuruhan.
Sebagian besar korban meninggal dunia akibat kesulitan bernapas saat mencoba keluar dari Stadion Kanjuruhan setelah ditembak gas air mata oleh pihak berwajib.
Jauh sebelum insiden Kanjuruhan, tragedi yang dipicu oleh gas air mata juga pernah terjadi di Estadio Nacional, Peru pada 24 Mei 1964.
Dilansir dari BBC, Senin (3/10), sejarah kelam tersebut terjadi pada pertandingan antara Peru melawan Argentina di babak Kualifikasi Olimpiade 1956.
Hingga saat ini, tragedi tersebut masih menjadi kerusuhan paling brutal dalam sejarah sepak bola yang memakan hingga 328 jiwa dan 500 korban luka.
Awalnya, pertandingan Peru vs Argentina berjalan dengan sengit, tetapi semuanya berubah setelah wasit mengambil keputusan kontroversial yang dinilai merugikan tim tuan rumah.
Saat itu, wasit menganulir gol milik Peru sehingga membuat penonton yang murka memaksa masuk ke lapangan.
Pihak kepolisian yang bertugas pun menembakkan gas air mata untuk mencegah semakin banyak penonton yang turun.
Tetapi hal ini justru memperkeruh suasana, kericuhan semakin menjadi-jadi hingga memakan ratusan korban jiwa.
Sebagian besar korban meninggal dunia akibat internal hemorrhaging (pendarahan internal) atau sesak nafas akibat terbentur daun jendela baja yang mengarah ke jalan.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News