Kisah Perajin Kok Asal Serengan Solo, Sukses Kembangkan Kluster UMKM hingga Buka Lapangan Pekerjaan

26 Maret 2024 23:50

GenPI.co - Kecamatan Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah, dikenal sebagai sentra kerajinan kok (shuttlecock). Industri kerajinan kok ini konon sudah turun-temurun sejak puluhan tahun lalu. Kok bikinan perajin asal Kota Bengawan ini dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia.

Salah satu perajin sekaligus pengusaha kok badminton asal Kampung Makam Bergolo, Kecamatan Serengan, Solo, Jawa Tengah, adalah Sarno. Dia mewarisi usaha kok dari orang tuanya sejak tahun 1988 silam.

Tak cuma sukses mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) miliknya dengan merek T3, Sarno juga membantu masyarakat sekitar dengan membuka lapangan pekerjaan. Sejumlah warga di kampungnya bekerja dengannya membuat kok.

BACA JUGA:  Cerita UMKM di Solo Terbantu KUR BRI, Bunga Murah dan Syarat Gampang

“Awalnya dulu banyak karyawannya 60 lebih, sekarang ada 20-an. Mereka mengerjakan (kok)  ada yang dibawa ke rumah ada yang di sini,” tutur Sarno, saat diwawancara GenPI.co di rumahnya di Solo, Rabu (6/11).

Puluhan pekerja ini membuat kok tak hanya di rumah Sarno, tapi mereka ada yang memilih menggarap kok di rumah masing-masing. Pekerja Sarno tak hanya bapak-bapak, namun ada yang ibu-ibu. Para ibu ini kebagian menjahit kok dan finishing.

BACA JUGA:  Jadi Agen BRILink, BUMDes Tumang Sukses Bantu UMKM Kerajinan Tembaga hingga Jadi Pemenang Desa BRILian

Bapak dua anak ini membeberkan membuat kok membutuhkan banyak orang. Satu buah kok itu dibuat dalam 8 tahapan dan dikerjakan sekitar 8 orang. Prosesnya mulai dari memilih bulu ayam sebagai bahan utama, membersihkan, mengelem hingga finishing

Dalam sepekan, dia bisa memproduksi 400-600 lusin kok. Total dia mampu membikin sekitar 2.000-an lusin kok dalam sebulan. Harga jualnya mulai dari Rp 50.000/lusin tergantung kualitasnya. Dia memiliki setidaknya 8 nama jenis kok di bawah brand T3. Jenis kok termahal adalah T3 Power yang dijual di atas Rp 100.000/lusin, sementara yang termurah T3 Merah.

BACA JUGA:  BRImo Bikin Nasabah di Solo Makin Mudah Kelola Keuangan, Bisa Transaksi hingga Investasi

Produk koknya ini dibedakan dari jenis bulu ayam yang dipakai. Menurut dia, kok yang termahal dibuat dari bulu ayam kampung jantan. Harga 1 biji bulu ayam ini bisa Rp 300.

Kok produksinya ini dikirim ke sejumlah toko baik di Solo Raya ataupun luar kota, seperti ke Tasikmalaya dan Purwokerto. Sedangkan bahan baku bulu ayam banyak didapatnya dari Demak dan Surabaya.

“Omzetnya? Ya adalah mbak, cukup. Rahasia lah,” kelakar Sarno saat ditanya mengenai pemasukannya dari produksi kok.

Di sisi lain, keberadaan UMKM shuttlecock T3 ini membantu warga setempat karena menyerap banyak tenaga kerja. Tak bisa dimungkiri, bisnis rintisan orang tuanya ini mampu menekan pengangguran. Terlebih, bayaran yang diberikan kepada pekerja lebih dari upah minimum kota (UMK) Solo.

“Kerja rumahan ini namanya. Gaji UMR lebih, sistemnya borongan. Jadi mereka (pekerja) mau berangkat jam berapa enggak masalah. Gaji tergantung tenaganya, mau lembur apa enggak, terserah,” ungkap pria berusia 59 tahun ini.

Dalam perjalanannya, usaha Sarno tak melulu berhasil, tetapi juga mengalami pasang surut. Karyawannya sempat mencapai 60-an orang. Seiring jalannya waktu, banyak yang keluar kemudian mendirikan usaha kok sendiri. Kini masih ada sekitar 20-an orang yang bekerja untuknya. 

Baginya ini tak masalah. Dia malah bisa bergotong-royong membuat kok dengan mantan karyawannya apabila mendapat pesanan dalam jumlah yang banyak. Saat pesanan kok membludak, dia tak sanggup membuatnya sendiri.

Apabila pemain badminton Indonesia menang di berbagai ajang internasional, seperti Kejuaraan Dunia, All England, ataupun turnamen bergengsi lainnya, maka minat masyarakat untuk main bulutangkis juga meningkat. Efeknya, kok bikinannya laku keras. 

Sebaliknya, jika jagoan badminton Tanah Air kalah, maka penjualan kok ikut lesu. Tak cuma itu, pesanan juga turun saat masuk musim hujan dan momen puasa Ramadan seperti sekarang ini.

“Saat 17 Agustusan permintaan kok meningkat tajam. Kok apa saja laku, tapi cari bulu (bulu ayam) yang susah, jadi persiapannya dari sebelum Agustus kami sudah produksi untuk stok. Harga bulu ya mahal sekarang, enggak bisa ditaksir,” tutur dia.

Di balik kisah keberhasilannya mengembangkan bisnis kok, Sarno banyak dibantu Bank BRI. Dia mengaku menjadi nasabah BRI sejak puluhan tahun lalu. Setelah itu dia ditawari untuk pengembangan klaster UMKM shuttlecock melalui permodalan usaha dengan memanfaatkan layanan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Sarno sampai lupa berapa kali dia mengajukan pinjaman modal ke BRI saking seringnya. Kali pertama dia pinjam sekitar Rp 1,5 juta hingga kini menjadi Rp 100 juta. Alasannya, selain bunganya yang dikenal rendah, layanan yang diberikan Bank BRI juga bagus. 

“Saya pernah pindah bank, mahal sekali bunganya, jadi saya pindah BRI lagi. BRI itu enak mbak, bisa kerja bunganya murah, KUR gampang,” imbuh dia.

Sarno kemudian menjadi mitra resmi BRI dengan adanya kluster shuttlecock T3. Manfaatnya, dia menjadi koordinator kredit kelompok melalui program kredit cepat (Kece). Menariknya, kredit ini tanpa agunan dan kerap dimanfaatkan karyawannya.

Plafon kredit yang diberikan BRI juga meningkat. Semula nominal Kece di klusternya ini senilai Rp 5 juta, kini menjadi Rp 60 juta/kelompok. Demi menghindari kredit macet, angsuran pinjaman ini dipotong Sarno dari gaji mereka.  

Salah satu karyawan, Lasiman, mengaku bergabung dengan usaha kok T3 ini sejak dia berusia 17 tahun hingga saat ini dia berumur 54 tahun. Sebenarnya dia sempat merantau ke kota lain, tapi akhirnya memutuskan kembali ke Solo.

Lasiman bercerita banyak sekali perubahan yang dialaminya sejak bekerja di tempat Sarno. Salah satunya adalah kini dia memiliki rumah yang nyaman untuk ditempati. Dia mengambil kredit (BRI) sambil bekerja untuk membenahi rumahnya hingga layak huni. Setidaknya dia menjadi nasabah BRI untuk program Kece selama 4 tahun terakhir.

“Saya itu orang kecil mbak, rumah lantainya tanah. Saya ambil sedikit (kredit BRI) buat benahi rumah, bikin sumur, sampai nyekolahin anak. Ambil lagi buat bikin kamar mandi, sekarang rumahnya sudah bagus,” cerita dia, saat ditemui di rumah Sarno, Rabu (6/3).

Sementara itu, Pimpinan Cabang BRI Slamet Riyadi Solo Agung Hari Wibowo menjelaskan visi BRI adalah memberi makna indonesia, memberdayakan masyarakat sebagai penopang perekonomian nasional.

Agung menyebut peran BRI dalam pemberdayaan UMKM, di antaranya dengan pembentukan Holding Ultra Mikro. BRI bersama dengan Pegadaian dan PNM menyediakan layanan keuangan yang terintegrasi dan memastikan nasabah UMi dapat naik kelas dalam satu ekosistem yang utuh dalam konsep Empower, Integrate, dan Upgrade.

“Tujuannya untuk pemberdayaan layanan dengan membuka seluas-luasnya entitas dan ekosistem ultra mikro, kemudahan dalam mendapatkan modal usaha dalam bisnis kecil,” papar dia, saat ditemui di kantornya di Solo, Senin (18/3).

Regional CEO BRI Yogyakarta John Sarjono, menambahkan BRI sebagai mitra Pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). BRI RO Yogyakarta selalu berkomitmen untuk mendukung program pemerintah salah satunya adalah penyaluran kredit KUR.

“Tahun 2023 BRI telah menyalurkan kredit KUR sebanyak Rp 18,45 triliun dengan total 432.452 debitur. KUR mikro sebanyak Rp 16,46 triliun dengan total 424.919 debitur dan KUR kecil sebanyak Rp 1,98 triliun dengan total 7.533 debitur,” jelas dia dalam wawancara tertulisnya, Rabu (20/3). 

John membeberkan penyaluran KUR terbanyak di RO Yogyakarta tahun 2023 adalah sektor perdagangan 42,2% dari total penyaluran KUR. Selanjutnya ada sektor jasa (23,6%), sektor pertanian (21,0%), sektor industri pengolahan (11,7%), dan sektor perikanan (1,6%).(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Farida Trisnaningtyas

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co