GenPI.co - Larantuka secara historis-religius terkenal dengan sebutan Kota Reinha. Kota tua dengan wilayah kecil yang terletak di kaki Ile Mandiri itu, telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada perlindungan Bunda Maria.
Hal ini kemudian menjadi pertimbangan bagi Pemeriontah provinsi untuk menjadikan ibukota kabupaten Flores Timur ini sebagai kota suci.
"Pertimbangan lainnya adalah perayaan keagamaan Samana Santa yang usianya sudah mencapai ratusan tahun di Flores Timur, dan masih tetap terlaksana dari dahulu hingga sekarang," kata Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur Eden Klakik baru-baru ini.
Baca juga:
Viktor Laiskodat: Pemprov NTT Akan Revitalisasi Wae Rebo
Di Ruteng, Donna Agnesia Puji Keindahan Gereja Katedral
Sejarah mencatat, semenjak kedatangan Portugis pada abad XV-XVI, sejak itu pula pengaruh Portugis mulai tertanam dalam proses kehidupan masyarakat Larantuka.
Konon kala itu, orang Portugis membawa Resiona (menurut legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia. Ia juga mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
Baca juga:
Sekitar 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Ia merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.
Setelah tongkat kerajaan itu dipersembahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha. Sementara para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD, mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda.
Dan selama lebih dari lima abad , tradisi keagamaan Samana Santa tetap melekat dalam sanubari umat Katolik di wilayah paling timur Pulau Flores itu.
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia). Semua Suku Semana dan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema)juga berjasa menjadikan daera itu kental dengan tradisi katolik.
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar Semana Santa dan Prosesi Jumat Agung atau Sesta Vera.
Kedua ritual ini dikenal sebagai "anak sejarah nagi" juga sebagai gembala tradisi di tanah nagi-Larantuka. (ANT)
Baca juga:
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News