
Kemudian, daging-daging hasil meuripee yang telah dibersihkan dan dipotong-potong tersebut dibagikan sesuai catatan jumlah peserta patungan.
Masing-masing peserta patungan itu mendapatkan satu tumpuk, yang isinya daging khas, tulang, dan daging bagian dalam dari hewan yang disembelih.
Tradisi meugang yang dilaksanakan setiap menyambut bulan suci Ramadhan itu sudah digelar di Aceh sejak ratusan tahun silam, dan memiliki makna sakral di tengah-tengah masyarakat religius di provinsi ini.
Bahkan, pelaksanaan meugang ini tidak hanya di lakukan menjelang puasa, tapi juga pada sehari menjelang hari raya Idul Fitri serta sehari menyambut pelaksanaannya hari raya Idul Adha.
Pengamat sejarah dan adat Aceh, M Adli Abdullah, mengatakan tanpa meugang bagi masyarakat "Serambi Mekah" ini seakan-akan terasa hambar dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Perayaan meugang di Aceh walau bukan sebuah kewajiban, namun sudah menjadi adat kebiasaan, sehingga jarang dijumpai dalam masyarakat Aceh yang tidak makan daging sapi atau kerbau menjelang Ramadhan ini.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala itu, menjelaskan awalnya tradisi meugang menjelang puasa Ramadhan ini dimulai sejak masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636).
"Pada saat itu sultan mengadakan acara menyembelih hewan ternak sapi dalam jumlah yang banyak dan dagingnya dibagi-bagikan kepada seluruh rakyatnya," katanya mengisahkan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News