
Buset, gue makin semangat.
-------------------------------------------------------------
Udah kelar ini itunya, tibalah hari yang dinanti-nantikan. Ya, lahan itu sudah milik gue sepenuhnya. Dua minggu setelah balik nama, sore hari, tepatnya di Jumat, Oktober 2007, gue habiskan waktu berjalan-jalan di lokasi lahan. Ada sebuah rumah yang udah rusak banget. Rumah kecil, hanya ada ruang tamu, satu kamar tidur, dan kamar mandi. Gue masuk ke rumah tersebut dan beberapa tikus melompat keluar. Mendadak gue merinding parah, hawa yang tadinya bau kayu lapuk, pelan-pelan berubah jadi anyir darah. Wah, ada yang gak bener nih, pikir gue. Gue segera beranjak keluar. Saat gue melewati pintu utama rumah, tiba-tiba tangan kiri gue seperti ada yang menggenggam dan meremas! Kaku dan kesemutan hebat. Bulu kuduk gue udah gak ngerti lagi diskonya kayak apa. Gue terdiam sejenak sambil baca doa apa pun yang gue ngerti. Pelan-pelan tangan gue berangsur normal, tapi leher gue jadi pegel. Mata gue agak kabur. Gue Berusaha keluar untuk menghirup udara segar. Berhasil.
Ilustrasi rumah angker (Foto : Istimewa)
Waktu mendekati maghrib. Kata orang, sebaiknya gak cari perkara dengan waktu ini. Tapi gue seolah gak peduli. Gue gak mau semua takhayul ini membuat lemah. Gue pun melangkah mendekati sebuah sumur tua, gak berapa jauh dari rumah rusak. Sekitar lima langkah lagi gue sampai ke bibir sumur, tiba-tiba di atas kepala gue ada yang jatuh. Gue ambil, 3 helai rambut yang panjangnya setinggi badan gue. Seketika gue langsung lemes, bulu kuduk gue udah gak karuan. Padahal langit sore masih terang, tapi di dalam lahan seolah ada kegelapan yang gue gak bisa jabarkan. Rambut itu pun gue buang ke tanah, bersamaan dengan timbul wangi melati. Shit! Mending gak dilanjutin deh kalo begini. Gue pun bergegas balik arah. Sumur itu urung gue dekati. Gue bermaksud kembali menjelajahi tempat ini esok paginya.
-------------------------------------------------------------------------
Sabtu siang ceria, wilayah sekitar situ rame. Apalagi sedang ada festival burung yang digelar dekat lahan. Matahari udah paling menyengat. Harusnya gue gak ada kekhawatiran, tapi entah, lahan itu memang misterius. Gak terlalu banyak angin, tapi memasuki perkebunan itu, hawa dingin mulai menyergap. Gue liat orang-orang bersorak-sorai di arena pertandingan burung, gak ada yang peduli dengan lahan ini.
Oia, gue lupa cerita. Pak RT setempat sempat mencegah gue membeli lahan tersebut, tapi setelah gue cerita kalo gue siap menanggung risikonya, beliau jadi angkat tangan. Entah kenapa sore itu gue pengen ketemu pak RT yang puluhan tahun tinggal di wilayah tersebut. Gue minta ditemenin ngeliat sumur dan kuburan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News