
Setelah keduanya jatuh ke lantai baru diketahui apakah saya boleh melakukan aktivitas berikutnya: mengocok ciamsi. Sampai salah satu benda mirip chop steak itu ada yang jatuh ke lantai. Ada nomor di benda itu: nomor saya 29.
Saya harus bertanya apakah saya boleh menggunakan nomor itu. Caranya bertanya: saya harus menjatuhkan benda dua keping tadi. Kalau dua-duanya tengkurap di lantai berarti saya tidak boleh menggunakan nomor 29 itu.
Saya harus mengocok ciamsi lagi. Kali ini yang jatuh nomor 22. Masih belum diizinkan. Saya kocok lagi: yang keluar nomor 19. Saya minta izin lagi. Benda dua keping yang saya lembar itu menghadap ke langit: berarti saya diizinkan menggunakan nomor 19 itu.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Korban Gempa Cianjur: Tunggu Ahli
Maka petugas jaga memberi saya selembar kertas bernomor 19. Di situ ada uraiannya: apa arti nomor 19 bagi saya. Anda sudah tahu: saya tidak percaya isi tulisan itu. Tapi aneh, isinya persis seperti prinsip hidup saya.
Dari kelenteng kami menanjak lagi. Memasuki gerbang makam. Lalu menanjak lagi sampai bangun cungkup makam yang besarnya sekitar 8 x 8 meter. Makam lagi tutup. Makam ini memang tutup antara pukul 12.00 sampai 14.00.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Bayu Skak: Arek Kesel
Lalu tutup lagi antara pukul 16.00 sampai 19.00. Malam hari ditutup antara pukul 22.00 sampai pukul 08.00. Itu adalah waktu-waktu umat Islam menjalankan salah duhur dan magrib.
Saya menuju samping makam itu. Ada masjid yang cukup untuk 200 orang. Terlihat banyak orang di dalam masjid: lagi tahlilan. Saya ikut tahlil bersama mereka. Mereka rombongan 60 orang. Satu bus besar. Semua warga NU. Mereka lagi tur ziarah: Makam Bung Karno, Makam Gunung Kawi, dan masjid 1000 pintu di Turen.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Dokter Spesialis: Tuhan Uang
Tentu saya ingin ketemu pewaris juru kunci makam itu. Rumahnya di kiri jalan sebelum gerbang makam. Yakni rumah beton seperti rumah orang berada di kota.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News