Cerita Horor: Jimat Pelaris itu Memenjara Jiwa Si Mbah

Cerita Horor: Jimat Pelaris itu Memenjara Jiwa Si Mbah - GenPI.co
Ilustrasi prempuan tua. (Foto: Yurialfred)

Perempuan itu, sebut saja Mbah J, meninggal di usia yang sangat tua yakni 116 tahun. Setidaknya itu yang diklaim salah satu anaknya kala  membaca kabar lelayu melalui pengeras suara.

Mendiang Mbah J sendiri punya empat orang anak. Yang pertama lebih dahulu berpulang sekitar  4 tahun silam di usia 65 tahun. Sementara yang bicara menggunakan pengeras suara adalah anaknya yang kedua, seorang pensiunan pegawai negeri sipil.

Aku sendiri sebenarnya tak memiliki pertalian darah dengan Mbah J. Namun hubungan perkawinan membuat kami berkerabat. Anak ketiga Mbah J adalah ibu dari seorang perempuan yang telah kuambil sebagai istri.

Siapapun pasti bertanya, mengapa Mbah J bisa mencapai usia setua itu. Terkait hal itu, ada cerita di baliknya. Kisah tentang kedigayaan manusia-manusia masa lampau yang dekat dengan hal-hal di luar nalar. Salah satunya adalah cekelan, sebuah jimat penahan sukma.

Beberapa hari sebelumnya, Mbah J masih sehat. Tubuhnya prima walau sudah bungkuk dan agak tertatih. Namun Mbah J menderita pikun parah sejak satu dekade silam. Ia nyaris tak mengenali siapapun. Jangankan anakku yang adalah cicitnya, mertuaku yang lahir dari rahimnya saja hanyalah orang asing baginya. Bukan siapa-siapa.

Sesering apapun kami berupaya membantunya mengingat dengan menyebut nama-nama yang dulu pernah akrab di telinganya, namun sepertinya tak ada lagi  yang berbekas. Ia memang tersenyum saat ada yang menyapa, atau mengajaknya bicara. Namun senyum itu  hambar, kosong, tanpa makna.

Mbah J hidup dalam keterasingan di tengah gegap gempitanya dunia yang terus begerak maju. Ia menjalani hari-harinya dalam hampa. Bagai mengitari lingkaran sembari mencari ujungnya. Sepi, sendiri.

Mbah J tak pernah sakit. Makannya pun lahap. Kerap terluka, namun sembuh dengan kecepatan yang tak masuk akal. Sekali waktu, ia jatuh begitu saja saat sedang berjalan. Dahinya menghantam lantai ubin dengan keras, sehingga membuatnya menangis seperti bayi. Orang-orang kemudian membopongnya masuk ke dalam kamar. Anehnya, keesokan harinya ia sudah seperti sediakala. Benjol besar di dahi lenyap tak berbekas. Ia kembali melakukan ritualnya, berjalan menggapai sudut kesukaannya untuk kemudian terpekur selama berjam-jam di situ sambil menggumam tidak jelas. Lalu sesekali mendendangkan tembang Jawa yang asing dan agak menakutkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya