
Al-Zaytun sebenarnya ingin membeli lahan bekas madrasah Darussalam yang terjepit di antara lahannya. Agar menyatu dalam satu hamparan. Madrasah itu sudah lama mati. Punya masalah di internal keluarga mereka. Al-Zaytun tidak mau terbawa ke konflik keluarga.
Dari galangan kapal ini madrasah itu terlihat dekat. Pun kubah masjidnya yang besar. Madrasahnya sudah tutup. Masjidnya sudah lama tidak dipakai.
Di galangan ini kami tidak hanya melihat kapal baru itu dari luar. Kami naik ke atas geladaknya. Menjenguk ruang mesinnya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: I-baru CSIS
Sayang kalau tidak diluncurkan. Rupanya soal pertanian dan peternakan sudah selesai ditata di Al-Zaytun. Maka gilirannya terjun ke perikanan laut.
Syekh Panji memang sangat memperhatikan kualitas makanan santrinya yang di atas 5.000 orang itu. Di pesantren itu selalu ada sajian ikan salmon dan tuna.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Pedoman Stemcell
Yang kandungan proteinnya tinggi. Di dua jenis ikan itulah Al-Zaytun belum mandiri. Yang lain sudah bisa memproduksinya sendiri. Secara swasembada: beras, jagung, kedelai, kacang, gula, telur, daging ayam, daging sapi, minyak goreng, sayur, buah, dan garam.
Tinggal ikan salmon dan tuna yang masih membeli. Itulah yang akan diatasi dengan kapal-kapal ikan tadi. Dari galangan ini saya menuju pesantren Al-Zaytun. Kali pertama pula.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Timnas Indonesia: Bibir Bengkak
"Naik mobil saya saja. Bisa ngobrol di perjalanan selama lebih 1 jam," kata Syekh Panji.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News