Catatan Dahlan Iskan: Tungku Sigit

Catatan Dahlan Iskan: Tungku Sigit - GenPI.co
Dahlan Iskan. Foto: Disway

''Batu tahan api itu justru menyerap panas,'' jawab Sigit. ''Saya pakai bata karena ingin bata itu memancarkan panas untuk membakar sampah,'' tambahnya.

Rupanya Sigit menggunakan prinsip bakar bata di desa-desa. Lalu disempurnakan. Saya mudah memahami prinsip kerja tungku Sigit itu karena saat remaja sering ikut bakar bata.

Rupanya itulah yang membuat Sigit sering dikeluarkan dari SMA. Sampai pindah SMA sembilan kali. Ia terlalu sering mengoreksi gurunya. Terutama guru matematika dan fisika. Lalu Sigit dianggap anak nakal. 

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Cholid Wolbachia

''Saya juga pernah dikeluarkan dari SMA Panca Bhakti Magetan,'' katanya. Rupanya Sigit tahu SMA tersebut berada di bawah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan –di lingkungan keluarga besar kami. Saya pun malu tersipu.

''Apakah Anda juga sering mengoreksi guru agama?'' tanya saya.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Mulus Pegasus

''Tidak,'' jawabnya. Ternyata hanya di pelajaran agama yang Sigit tidak pernah koreksi. ''Ayah saya kiai,'' katanya.

Dengan prinsip tungku seperti itu maka sampah yang tidak bisa didaur ulang tuntas terbakar di situ. Nyaris tanpa biaya operasional. Investasinya pun sangat murah. Biaya membangun tungku itu hanya sekitar Rp 250 juta. Sebelum di-mark-up. Kalau pun satu kelurahan perlu dua tungku itu baru Rp 500 juta. 

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Tahija Wolbachia

Bagaimana dengan sampah basah? Bekas pampers atau kain pel?

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya