Catatan Dahlan Iskan: Klimaks Kedua

Catatan Dahlan Iskan: Klimaks Kedua - GenPI.co
Dahlan Iskan. Foto: Disway

"Saya dilahirkan di bawah pohon durian," jawabnya. Ia berhasil menyembunyikan logat Melayunya –pertanda sering keliling Indonesia. 

Aziszak lulusan Universiti Malaysia –yang aslinya adalah perguruan tinggi pertanian mirip IPB Bogor. Ibunya Tionghoa, ayahnya Melayu. "Kalau tidak ada darah Tionghoa mungkin saya tidak suka durian," celetuknya.

Kata Aziz: di kampungnya dulu hanya orang Tionghoa yang suka Musangking. Waktu ia kecil namanya belum Musangking. Masih disebut Durian Kunyik. Mungkin karena warna dagingnya yang kuning seperti kunyit.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: GovTech Merdeka

"Kami orang Melayu tidak suka durian yang rasanya pahit," ujar Aziz mengenang masa kecilnya. Lama-lama orang Melayu pun suka Musangking. "Setelah suka mulailah orang Melayu tidak mampu membeli musangking," tambahnya dengan nada pahit.

Harga musangking memang naik lebih 10 kali lipat –sekitar 10 tahun lalu. Yakni ketika terjadi el nino. Kemaraunya sangat panjang. Kekurangan air. Produksi sangat kurang. Lalu terbentuklah harga baru. Musangking seperti raja –tidak mau turun. Pun ketika el nino telah lama lewat. 

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: Tetangga B

Padahal sudah banyak syarikat besar yang melakukan investasi musangking besar-besaran. Sudah ada yang menanam 5.000 hektare. Kualitas sama. Rasa sama. Tidak ada konsumen yang tertipu ala beli durian. 

"Pemerintah sudah menentukan standar durian musangking," katanya. Cara penyelidikan tanahnya standar. Cara pengolahan tanahnya baku. Cara tanamnya ditentukan. Pun cara pemupukan, pengaturan air, dan pemeliharaan. Sampai ke masalah panennya.

BACA JUGA:  Catatan Dahlan Iskan: GovTech Anas

Standarisasi seperti itu yang belum ia lihat di Indonesia. "Saya sudah keliling dari Aceh sampai Sulawesi," katanya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya