Perjalanan Merah Putih ke Puncak Tambora

Perjalanan Merah Putih ke Puncak Tambora - GenPI.co
Mera Putih dengan panjang 203 meter di puncak Tambora.

Ketika itu, jarum jam sudah di angka satu. Wajah-wajah yang awalnya cerah ceriah penuh semangat, kini berganti rupa. Letih sudah mulai terasa. Namun bayangan Puncak Tambora yang menguasai benak menguburkan rasa letih itu dalam-dalam. Semangat terus bergelora seriring langkah-langkah kami menapaki inci demi inci menuju puncak.

Dari pos dua, kami berjalan kurang lebih 1,5 jam untuk sampai di pos tiga. Di sini kami hanya istirahat sebentar saja. Beberapa peserta duduk berselonjor untuk melemaskan otot betis. Sementara yang lain tampak khusyuk menunaikan kewajiban sholat. Letih memang semakin terasa. Namun bagi para mereka yang kerap mendaki, perjalanan hingga k epos ketiga ini tidak ada apa-apanya. Perjuangan sesuangguhnya adalah saat mencapai pos selanjutnya.

Dari pos ketiga, jalanan mulai menanjak naik. Jalur ini dinamakan Tanjakan Penyesalan. Tidak salah memang. Pendaki pemula pasti akan menyesal ketika berhadapan dengan jalur ini. Otot-otot betis mulai meronta kesakitan. Satu-persatu peserta mulai terlihat kepayahan. Namun tak ada yang menyerah. Misi membentangkan Merah Putih melahirkan semangat yang membuncah, mengalahkan rasa sakit dan penat.

Pukul 5 sore kami tiba di Pos Empat. Savana yang maha luas terbentang tepat di depan mata. Di titik ini kami mendirikan tenda untuk bermalam.  Sembari mengisi tenaga yant telah terkuras habis,  kami melakukan segala persiapan untuk “summit attack” pada esok dini hari.

Gelap Gulita masih melingkupi bentangan savana. Namun saya dan 199 orang lainnya sudah siap melanjutkan perjalanan. Berbekal headlamp, kami berjalan beriringan menembus pekatnya gelap. Dini hari yang masih sunyi membuat bisik angin melalui rerumputan terdengar begitu jelas. Sebagian besar peserta berjalan dalam diam. Mungkin masing-masing dari kami ingin menikmati sunyi yang syahdu.

Dua jam berikutnya, langit timur mulai semarak oleh semburat warna jingga. Saat itu kami sudah berada di punggung Gunung Tambora. Sejauh mata memandang, hanya hamparan luas padang savana Gunung Tambora yang samar-samar mulai terlihat. Di sisi barat, nampak pula siluet Pulau Moyo dan Pulau Satonda.

Bibir kaldera Gunung Tambora sudah mulai menampakan dirinya. Menganga bak mulut harimau yang siap menelan mangsanya. Namun tenang saja, Gunung Tambora saat ini tak seganas pada April 1815. Saat ini Gunung Tambora begitu ramah kepada siapa pun yang datang maupun tinggal di sekitarnya. pesona alamnya, kandungan sumber daya alamnya telah mampu memberi hidup ratusan ribu masyarakat yang berdiam di sekitar kakinya.

Langkah sudah tertatih. Penat sudah terasa hingga ke ubun-ubun. Setelah 3 jam berjalan tanpa henti, tibalah kami di tempat tujuan.  Rasa lelah yang selama kurang lebih 24 jam ini kami rasakan seolah-olah langsung hilang begitu saja. Lenyap oleh pesona Gunung Tambora yang begitu dashyat. Kaldera yang diameternya mencapai 9 km lebih itu menjawab semangat kami, semangat yang begitu membara untuk sekeder duduk bersamanya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya