Dengan segenggam asa di di hati, kami berdua pun segera mengunjungi dokter kandungan. Di atas tempat tidur di ruang praktek dokter, Ambar memandang sebuah monitor berlayar hitam dengan lekat.
Aku tahu ia sedang berharap-harap cemas. Aku pun demikian. Lalu sang dokter menekankan sebuah alat entah apa namanya di perut Ambar. Sebentuk citra tampil dalam layar gelap itu. Ada sebuah titik kecil yang terlihat di situ.
“Itu janinnya, masih sebesar biji jagung,” ujar dokter sembari jarinya menunjuk pada titik kecil berwarna putih itu.
Ambar tersenyum bahagia. Belum pernah kulihat dia sebahagia ini. Tangannya yang kecil itu kugenggam erat-erat. Ada sebentuk rasa yang ganjil mengalir dalam diriku. Sebuah perasaan yang berbisik bahwa aku akan segera menjadi seorang Ayah.
BACA JUGA: Kasihku pada Wendy Melampaui Waktu
Sang dokter, seperti kebanyakan dokter kandungan lainnya, memberi anjuran-anjuran agar kehamilan Ambar tetap terjaga dengan baik. Ia juga meresepkan beberapa vitamin yang katanya berguna untuk menambah asupan gizi sang janin. Harga vitamin-vitamin itu mahal. Namun bukankah uang tidak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan yang tengah kami rasakan itu?
Kebahagiaan itu terampas begitu saja tepat pada saat kehamilan memasuki usia tujuh minggu. Ambar mengatakan dia mengalami flek.
Aku bingung karena tidak paham maksudnya. Melalui layar kecil ponsel, kuselancari dunia maya untuk mencari informasi mengenai apa yang dikatakan Ambar itu. Wajahku pucat pasi saat menemukan deretan artikel yang mengulas flek pada wanita hamil. Aku memilih salah satu artikel dan kubacakan kepada Ambar. Serta merta wajahnya diliputi kecemasan luar biasa.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News