Dear Diary

Bukan Kisah Hohohihi, Tapi Bisa Bikin Kamu Nostalgia

Bukan Kisah Hohohihi, Tapi Bisa Bikin Kamu Nostalgia - GenPI.co
Ilustrasi bermain layang-layang. (Foto: Elements Envato)

Dua hari sebelumnya...

“Mana kertas minyaknya?”Yos berteriak tak sabar sambil melihat kepadaku yang sedari tadi menghabiskan waktu dengan duduk di setumpuk rumput yang baru disiangi. Tumpukkan rumput liar itu dionggokkan begitu saja di salah satu sudut halaman rumah, menunggu panas matahari mengeringkannya sebelum dilalap api pada petang nanti. Yos masih memandangku sementara tangannya memutar sebilah bambu berwarna kuning pucat.

“Tunggu,,” aku membalas teriakannya itu sembari berhambur masuk rumah.

Yos adalah tetanggaku sebelah rumah. Usianya terpaut  2 atau 3 tahun lebih tua dariku. Oleh teman-teman sebayaku, ia juga dipanggil Cobra. Julukan yang disematkan kepadanya setelah suatu waktu kami berkesempatan menyaksikan aksi Sylvester Stallone dalam salah satu film heroiknya yang  juga berjudul Cobra.

Di film itu, Stallone berperan sebagai polisi yang menegakkan keadilan di jalanan dengan menembakkan senjatanya kesana kemari. Yos, tentu saja, bangga dengan panggilannya itu. Tidak jelas mengapa ia yang mendapatkan julukan istimewa itu. Mungkin karena Yos juga dikenal lihai dalm segala hal, termasuk menggunakan ketapel. Apapun sasaran ketapelnya, entah itu burung gereja, atau ayam tetangga, sudah dipastikan akan meregang nyawa dan berakhir di tungku panggang.

Sembari Yos menunggu, aku menguji nyali dengan menemui Mama yang tengah sibuk di dapur memasak santapan siang  itu. Mama tengah mengolah pucuk-pucuk labu yang ditanamnya sendiri di halaman sempit belakang rumah.  Sementara lauk ikan kembung sudah ditata rapi di atas piring saji dan diletakkan di meja makan.

Kombinasi sayur pucuk labu dan ikan tebang goreng selalu berhasil membuatku menghabiskan dua piring nasi setiap kalinya. Namun mungkin tidak hari ini, karena teriakan Yos  tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Tangannya yang memegang bilah bambu itu telah membuyarkan pikiranku tentang hidangan istimewa Mama.

“Ma,” Aku mecoba membuka percakapan sementara memperhatikan tangan Mama yang sibuk mematahkan julur-julur  pucuk labu menjadi bagian-bagian kecil. “Minta uang ka...”

“Untuk apa lagi?” Pandangan Mama tidak beralih dari pucuk-pucuk labunya.

“Beli kertas minyak,” Aku menjawab. Suara sengaja kupelankan sembari khawatir menunggu reaksi Mamaselanjutnya.

Tidak ada gerakan-gerakan mencurigakan....

“Layang-layang lagi? Beli kertas minyak terus saja kau. Berapa hari lalu suda beli untuk buat kau punya layang-layang. Mana itu layang-layang, sudah?” Jawaban dari  Mama membuat perasaanku tidak enak, namun sudah kuduga akan seperti itu.

“Masalahnya itu layang-layang tidak mau terbang. Yos bilang rangka bambunya terlalu berat dan tidak seimbang,” jawabku dengan perasaan tidak menentu.

“Salah sendiri, to. Kalau tidak bisa buat sendiri, suruh orang yang lebih tahu.”

Jawaban Mama rupanya tidak bisa dibantah. Dengan lunglai aku pun berlalu meninggalkannya melanjutkan kesibukan di dapur.

Mungkin Bapa ada simpan uang, batinku.

BACA JUGA: Astaga! Calon Imamku Ternyata…

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya