
Walau demikian, hal ini merupakan cara yang tidak berkelanjutan dan tidak memberikan nilai yang signifikan terhadap demokrasi itu sendiri.
Adrian membandingkan pemilu dengan kegiatan beauty pageant atau kontes kecantikan.
Kontes kecantikan hanya menekankan pada atribut fisik dan popularitas para kontestan.
BACA JUGA: Klaim Banyak Tokoh Akan Gabung, Giring Pede PSI Kuda Hitam Pemilu 2024
Namun berbeda dengan kontes kecantikan, demokrasi akan berkaitan dengan masa depan kehidupan masyarakat.
"Memilih representasi dengan pertimbangan bahwa representasi lebih populer merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Aspek popularitas merupakan aspek terakhir yang harus dipikirkan dalam memilih representasi dalam pemilihan umum. Aspek latar belakang, program dan kebijakan yang diusung harusnya menjadi pertimbangan dalam pemilihan umum," tegasnya.
BACA JUGA: Menpora Beri Pesan Penting untuk Anak Muda Jelang Pemilu 2024
Adrian juga mengungkapkan fenomena publik figur dalam peristiwa politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dalam pembahasan Firmanzah dalam buku ‘Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas’.
Dia merasa kegiatan marketing yang dilakukan partai politik merupakan bentuk kegiatan yang positif karena akan memperkenalkan ide politik yang kemudian dapat diterima oleh masyarakat serta menciptakan suasana demokratis.
BACA JUGA: Hary Tanoesoedibjo: Perindo Target 14 Kursi DPR RI dari Dapil Jatim pada Pemilu 2024
Namun, marketing politik juga dapat menciptakan peluang negatif. Partai politik dapat menggunakan kegiatan marketing tanpa memiliki ide atau gagasan yang jelas.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News