
Selain itu, pemberontakan atas nama agama terhadap kekuasaan juga sering terjadi.
“Intinya, kekuasaan rukun dengan umat beragama jika agama itu dibutuhkan. Tapi, ketika agama jadi ancaman bagi kekuasaan, cerita akan terlihat sebaliknya,” paparnya.
Tony menjelaskan bahwa di banyak negara, isu agama sering dibahas menjelang pemilihan umum. Biasanya, jika pemilih di negara tersebut punya fanatisme terhadap agama tertentu, maka partai politik akan merekrut tokoh keagamaan sebagai vote getter.
“Narasi agama muncul untuk menjadi penguat legitimasi, semata-mata untuk mencari dukungan suara,” jelasnya.
BACA JUGA: Zakiah Aini Ditembak Mati, Loyalis Rizieq Malah Salahkan Polisi
Menurut Tony, hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Pada musim pemilu, para ulama, kyai, ustadz, pendeta, dan tokoh-tokoh agama laris serta kebanjiran proyek selama masa kampanye.
Namun, saat kampanye berakhir, mereka tak akan dianggap lagi dan tidak kembali dilibatkan dalam program pemerintah.
“Sebaliknya, di negara dengan banyaknya pemilih anti agama, maka isu agama dijadikan sebagai common enemy. Tapi, bukan karena calon penguasa tak suka dengan agama tertentu, tapi lebih pada upaya mendapat simpati para pemilih yang fobia pada agama,” tuturnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News