GenPI.co - “Budi, berhenti! Berhenti Bud. Berhentiiiiii!!”
Wati berteriak sejadi-jadinya saat Budi menyingkap pagar rumah setinggi bahu lalu pergi dengan setengah berlari.
Perempuan itu bangun dari kursi di teras rumah yang baru saja ia duduki, lalu melompati undakan kecil di depannya, melewati celah gerbang untuk menyusul lelaki yang baru saja pergi dari hadapannya.
Budi berjarak kurang lebih 20 meter dari Wati. Ia terus saja menyusuri sisi jalan dan tanpa menoleh sekali meski Wati meneriaki namanya.
“Berhenti Budi!”
Tingkah Budi dan Wati tentu saja jadi perhatian banyak orang. Kang Ujang, si Tukang Siomay, sampai menghentikan laju gerobaknya demi memandangi kejadian unik itu.
“Naon, badai euy..” ucapnya dengan wajah melongo.
Bu Badri juga begitu. Ia yang sedang mengurusi kembang-kembangnya yang ditanam di depan rumah juga mendengar teriakan Wati.
Tak puas hanya menengok melewati pagar, perempuan paruh baya itu melangkah ke luar gerbang rumahnya untuk melihat aksi kejar-kejaran itu.
BACA JUGA: Sokoke itu Kunamai Si Bengal
Dalam hatinya, Bu Badri bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dalam hatinya ada rasa girang melihat peristiwa itu, sebab bakal itu bisa jadi bahan gosip untuk dibagikan pada ibu-ibu di pengajian nanti malam.
Wati terus mengejar Budi. Ia sadar, semua mata memandang ke arahnya. Tapi perempuan yang baru tamat SMA itu tidak peduli. Tujuannya saat itu adalah mendapatkan Budi lalu menyeretnya kembali ke rumah.
“Budi kembali budiiiii!!”
Lengking suara yang meluncur cepat bibir Wati itu bahkan bikin burung pipit yang sedang mengaso di kabel listrik terlompat ketakutan, lalu terbang menjauh.
---0---
Wati dan Budi adalah teman kelas semasa SMA dan juga sepasang kekasih. Mereka berpacaran kurang lebih 2 tahun. Untuk ukuran remaja, keduanya boleh diacungi jempol lantaran bisa mempertahankan hubungan mereka cukup lama.
Sementara teman-temannya yang lain entah sudah berapa kali gonta-ganti pacar, Wati dan Budi tetap kukuh cintanya. Mereka terlihat menyayangi satu sama lain, saling mendukung juga belajar bersama.
Awalnya orang tua Wati tidak setuju putrinya itu berpacaran. Menurut mereka, Wati itu masih bocah. Belum waktunya pacar-pacaran. Sekolah saja dulu.
Pak Anwar, ayah Wati, kesal bukan main ketika tahu putrinya tidak mengindahkan perintahnya dan tetap menjalin romansa dengan Budi. Namun rasa marah itu luluh ketika melihat perangai Wati yang lebih lembut setelah berhubungan dengan Budi. Ia jadi lebih rajin di rumah. Juga, sikap judes Wati pada adik-adiknya seketika hilang.
Yang bikin Pak Anwar senang, Wati makin meningkat prestasinya di sekolah. Sebelum pacaran dengan Budi, anaknya itu hanya biasa-biasa saja. Pintar tidak, bodoh juga tidak.
BACA JUGA: Dan Pendar Keemasan itu Menyapu Pekat Malam
Namun hal itu berubah drastis usai pacaran dengan Budi. Wati lebih rajin belajar, nilai-nilainya meningkat, bahkan masuk sepuluh besar di kelas.
Jadi ia biarkan saja putrinya itu terus menjalin cinta dengan si Budi. Toh Budi juga cukup tampan, cocok dengan putrinya yang memang berwajah ayu.
Pak Anwar baru tahu kalau si Budi ternyata anak pintar. Ia senang kecerdasan anak lelaki itu menular ke putrinya.
Kegembiraannya makin bertambah ketika tahu latar belakang keluarga Budi. Ternyata ia adalah putra Pak Broto, seorang pengusaha otomotif yang memiliki dealer mobil di kota mereka.
Pak Anwar pun membuka lebar-lebar pintu rumah bagi Budi. Terlebih saban berkunjung dengan alasan belajar bersama, Budi selalu membawa buah tangan yang cukup banyak.
“Wat, tumben Budi nggak kemari,” ucap Pak Anwar jika Budi tidak melihat Budi duduk di ruang tamu mereka lebih dari dua hari. Ia was-was, anaknya itu putus cinta.
“Iya, Yah. Dia lagi sibuk. Tadi di sekolah dia bilang mau datang besok,” jawab Wai yang disambut senyum semringah Pak Anwar.
Wah, bawa oleh-oleh apa lagi anak itu besok, batin pak Anwar sambil membetulkan sarungnya yang kedodoran. Yang tak bakal disangkanya, hubungan putrinya dengan si Budi ambyar dua hari kemudian.
---0---
Budi mempercepat larinya begitu sadar Wati tinggal beberapa langkah di belakangnya. Ia kadung kesal sama perempuan itu. Kemarahannya begitu rupa sehingga tidak tersisa lagi ruang di hatinya untuk kata maaf. Dalam kepalanya cuma satu hal, secepatnya pergi dan menyingkirkan Wati dari hidupnya…. selamanya.
Padahal beberapa menit lalu mereka baik-baik saja. Seperti biasa, Budi datang berkunjung ke rumah Wati. Di tangannya ada beberapa kantong buah-buahan segar. ia juga membawa setumpuk buku pelajaran. Tujuannya memang ingin belajar bersama dengan kekasih hatinya itu, mempersiapkan diri untuk mengikuti tes di universitas yang jadi incaran keduanya.
Mereka mengambil tempat di teras rumah Wati, mengisi kursi dan meja bundar dari kayu jati yang tampak tua dan mengkilap yang terletak di situ.
Ayah Wati belum pulang kerja, sementara ibunya ke pasar. Adik-adik Wati yang dua orang itu entah di mana. Praktis hanya mereka berdua di rumah itu.
Itu sebabnya Budi memilih duduk di teras rumah saja yang lebih terbuka. Ia takut tergoda setan jika belajar di dalam rumah . Terlebih, akhir-akhir ini Wati mulia genit padanya.
BACA JUGA: Kasihku pada Wendy Melampaui Waktu
Bagaimanapun juga, ia adalah adalah seorang lelaki. Hasratnya bisa naik ke ubun-ubun dan membuatnya gelap mata jika ada kesempatan.
Setelah basa-basi sebentar, Wati masuk ke dalam untuk membawa masuk buah tangan Budi. Dan, dari situlah prahara dimulai.
Saat masuk, Wati membiarkan ponselnya tergeletak di meja. Aplikasi WhatsApp tampak masih terbuka Sementara beberapa pesan masuk di platform perpesanan itu terus bertambah jumlah notifikasinya.
Budi penasaran. Ia ingin mengintip, tapi takut ketahuan. Namun rasa ingin tahunya terlanjur memenuhi dada, lalu dengan cepat meraih ponsel itu dan menggulir layarnya.
Budi kaget setengah mati saat mendengar teriakan Wati dari dalam rumah. Kekasihnya itu bertanya apakah Budi ingin minum sesuatu. Budi berpikir cepat, lalu menjawab bahwa ia ingin kopi panas.
“Tumben minta kopi. Biasanya air es. Tunggu sebentar yah, soalnya harus rebus air dulu,” jawab Wati.
“Nggak apa-apa,” balas Budi. Ia lega karena berhasil menahan Wati di dapur untuk menunggui air yang tengah dijerang.
Dalam waktu yang mepet itu, ia menemukan kenyataan buruk mengenai hubungannya. kenyataan yang bikin hatinya hancur lebur.
Pertama ia membuka percakapan Wati dengan Ayahnya. Awalnya ia merasa dirinya lancang, tapi melihat tulisan terakhir yang terlihat di pada percakapan itu, ia pun nekat membuka.
“Tenang, Yah. Budi pasti bawa oleh-oleh kok tiap datang,”
“Paling buah, atau martabak, yang lain dong. kayak pas lebaran, ayah dapat sarung dan baju bagus. Masa tunggu lebaran dulu..”
“Ih ayah..”
“Jangan sampai lepas di Budi itu. Ingat, keluarganya orang kaya.”
“Beres ayah,”
Masih banyak deretan percakapan lagi ayah dan anak itu, tapi Budi sudah merasa jijik dan kesal setengah mati.
BACA JUGA: L’etranger: Sepotong Kisah Orang Asing
Ia hendak meletakkan kembali ponsel itu di tempatnya, sebelum mengurungkan niatnya karena ingin memeriksa percakapan sebuah grup di aplikasi itu.
Grup itu dinamakan “Teenage”, isinya adalah Wati dan beberapa orang lain. Percakapan di dalamnya juga bikin Budi muak bukan main.
Wati benar-benar pribadi yang berbeda di dalam grup itu. kedua jempolnya busuk seperti air comberan yang mengalir di got. Banyak makian, cercaan, dan kata-kata yang tak seharusnya diucapkan oleh seorang gadis baik-baik. Budi lantas sadar bahwa kondisi dirinya juga sedang tidak baik-baik saja.
Budi juga disinggung dalam grup itu. oleh Wati, dirinya dijuluki ‘Alat’. Ya, Budi tak lebih dari sekadar alat bagi Wati untuk mendapatkan keuntungan dalam hubungan. Benar-benar Toxic!
Budi cepat-cepat meletakkan kembali ponsel itu begitu mendengar langkah kaki dari dalam rumah. Begitu Wati muncul dari balik pintu, Budi merasa melihat orang yang berbeda sama sekali.
Wati bukan lagi gadis yang ia kenal seperti yang sudah-sudah. Sosok di depannya ini tak lebih dari seorang perempuan tidak tahu malu yang bertingkah seperti benalu. Ia dan ayahnya sama saja. Sama-sama benalu.
Begitu Wati mengambil tempat duduk di sebelahnya, Budi seketika berdiri dan memandangnya dengan penuh kebencian.
“Kita putus!! Aku nggak mau lagi sama kamu!!” Begitu teriak Budi sebelum menghambur pergi dari situ.
Wati kebingungan dan berupaya mencerna peristiwa itu, lalu sadar dengan kebodohannya. Ia pun mengejar Budi ke luar diiringi oleh denting mangkuk ayam yang beradu dengan sendok dari gerobak siomay Kang Ujang. Namun sayang, semua sudah terlambat(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News