GenPI.co - Kisah ini bermula 7 tahun lalu. Saat itu, aku sedang dalam perjalanan dinas menuju kota Surabaya , Jawa Timur.
Di pesawat, aku bertemu dengan seorang perempuan. Ia duduk tepat di sebelahku.
BACA JUGA: Tubuhmu Tak Sehangat yang Kukira, Tapi Harus Kuterima Semua ini
Di perjalanan, ia memohon untuk bertukar tempat duduk dengannya. Ia mengatakan bahwa ia ingin melihat pemandangan dari jendela pesawat.
Aku pun mengiyakan permintaannya. Sepanjang perjalanan, ia terus melihat keluar jendela.
Sesampainya di kota tujuan, perempuan tersebut terlihat sangat senang. Ia tersenyum kepadaku sebelum akhirnya ia pergi entah ke mana.
Setelah itu, aku langsung pergi menuju hotel untuk mengistirahatkan diri. Esok harinya, aku mulai mengurus pekerjaanku di kantor cabang di Surabaya.
Agenda yang sangat padat membuatku lupa makan. Mengetahui hal itu, seorang pegawai kantor mengajakku untuk pergi ke kantin.
Sesampainya di kantin, kagetnya aku saat melihat perempuan yang berada di pesawat bersamaku kemarin. Aku pun memberanikan diri untuk menghampirinya.
Ternyata, perempuan tersebut juga bekerja di kantorku. Namanya Kirana. Nama yang cantik, seperti wajahnya.
Setelah pertemuan kedua kami tersebut, pikiranku terus tertuju pada Kirana. Aku percaya, pertemuan kami tersebut sudah direncanakan oleh semesta.
Urusan pekerjaan membuat kami makin sering bertemu. Bahkan, kami juga sering makan malam bersama.
BACA JUGA: Benalu Menyaru Sebagai Cinta, Ia pun Pergi Berlalu
Urusan pekerjaan di Surabaya akhirnya selesai juga. Aku pun harus kembali ke Jakarta.
Ada perasaan berat saat meninggalkan Kirana. Padahal, aku bukan siapa-siapanya.
Kami masih saling berkomunikasi. Ia bahkan sudah mulai berani menceritakan kisah cintanya padaku.
Aku tahu, ia memiliki perasaan lebih padaku, seperti yang aku rasakan padanya saat ini. Hal itu terlihat dari sorot matanya saat video call dan sikapnya padaku.
Mengetahui hal itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke Surabaya bersama Ayahku. Dengan penuh keberanian dan keyakinan, aku melamarnya langsung di depan orang tuanya.
Kirana setuju, orang tuanya pun begitu. Singkat cerita, kami akhirnya menikah.
Setelah menikah, Kirana ikut denganku tinggal di Jakarta. Kehidupan kami pun berjalan dengan bahagia dan romantis.
Hingga akhirnya, kami dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik sekali. Matanya mirip Kirana, sedangkan bibirnya mirip sepertiku.
Kebahagiaan kami pun makin sempurna, namun sayang tak berlangsung lama.
Di tahun ketiga pernikahanku, aku terkena stroke. Aku hanya bisa terbaring di kamar tidur.
Aku sudah tidak bisa lagi memberikan nafkah kepada anak dan istriku. Hal itu membuat Kirana harus bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Anak kami pun, kami titipkan kepada orang tua Kirana di Surabaya. Di tahun pertama aku mengalami stroke, Kirana sangat telaten dalam merawatku.
Hingga akhirnya, di tahun kedua, ia mulai seenaknya saja. Bahkan, ia mulai sering meninggalkan rumah tanpa pamit padaku terlebih dahulu.
Sikap perhatiannya pun perlahan hilang. Aku dianggapnya seperti sampah yang mengganggu kehidupannya.
Aku pun menyadari hal itu. Aku memang hanya membuat kehidupan Kirana susah.
BACA JUGA: Sokoke itu Kunamai Si Bengal
Hingga suatu hari, Kirana pulang ke rumah bersama seorang pria. Ia mengatakan bahwa pria tersebut adalah majikannya.
Meskipun aku tak bisa berbicara dan bergerak, aku masih bisa melihat apa yang terjadi di sekitarku. Aku melihat istriku, Kirana tengah berhubungan intim dengan majikannya tersebut.
Aku sangat terkejut saat melihat hal tersebut. Namun, aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku hanya bisa menangis dan menahan amarah yang ada di dalam diriku. Aku tak tahu kenapa Kirana begitu tega padaku.
Aku tidak menyangka, perempuan yang aku cintai selama ini, selingkuh di hadapan mataku. Ia seolah menganggapku tak ada, atau bahkan ia sengaja melakukan itu di depanku.
Setelah kejadian itu, Kirana datang membawa saudaraku. Ia mengatakan bahwa ia ingin bercerai denganku.
Kirana pun pergi, dan aku mulai tinggal dan dirawat di rumah saudaraku. Tuhan memberiku kesempatan kedua, aku sembuh dari penyakit yang menyiksaku bertahun-tahun.
Aku pun kembali memulai kehidupan baru, kehidupan tanpa, Kirana. Saat aku coba menghampiri anakku di rumah neneknya di Surabaya, ternyata ia sudah dibawa Kirana bersama suami barunya.
Mengetahui hal itu, hatiku pun makin hancur. Namun, aku masih kuat bertahan, aku tak ingin kembali sakit seperti dahulu. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News