GenPI.co - Ini kejadian yang aku alami bersama istriku beberapa waktu lalu. Namaku Andre. Istriku Dian.
Kami masih bisa disebut pengantin baru meskipun sudah menikah dua tahun. Kami sangat suka melahap makanan pedas.
Suatu ketika kami membuat rujak di rumah. Sejak pagi kami sudah menyiapkan berbagai buah untuk dijadikan rujak.
Istriku yang bertugas membuat sambal. Harus kuakui sambal buatannya sangat enak. Pedasnya nampol.
Aku bertugas ke pasar untuk membeli buah-buahan segar. Jarak rumah kami dengan pasar tidak terlalu jauh.
Aku hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk menuju ke pasar menggunakan sepeda motor.
"Dapat apa aja, Pa?" tanya Dian saat aku baru tiba di rumah.
"Macam-macam. Lengkap kayaknya, deh,"
"Mangga mudanya dapat?"
"Aman, Cintaku," aku mengusap pipinya.
Dian langsung mencubit lenganku. Kami tidak mau membuang waktu.
Dian lantas mengulek berbagai bahan untuk dijadikan sambal.
Aku mencuci, mengupas, dan mengiris buah. Hari sudah sangat siang.
Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 13:00 WIB. Aku sudah membayangkan betapa nikmatnya menyantap rujak pedas saat tengah hari bolong.
Tidak sampai setengah jam, sambal buatan Dian sudah tersaji. Begitu pula dengan buah-buahan yang kukupas.
Kami menggelar tikar di ruang tengah. Aku dan Dian mulai menyantap rujak yang kami buat.
Maknyussss. Rasa pedas yang bercampur berbagai rasa buah-buahan langsung membuat lidah kami bergoyang.
Sejurus kamudian kami mulai merasakan pedas yang luar biasa. Aku dan Dian seolah berlomba uh ah uh ah karena kepedasan.
Apakah kami berhenti? Tentu saja tidak. Tidak ada kata berhenti menyantap rujak pedas di kamus kami.
"Gimana?" tanya Dian sembari mengipasi mulutnya.
"Mantap," ujarku dengan seadanya.
Mulutku rasanya sudah tidak bisa diajak berkompromi untuk mengucapkan kata dengan benar.
Rasa pedas benar-benar sudah melekat di mulut dan lidah kami.
Tok... Tok... Tok. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah kami. Aku meminum es teh, lalu beranjak ke depan.
"Eh, Mas Joko. Ada apa, Mas?"
"Ini ada undangan pernikahan, Mas. Kemarin yang ngirim undangan datang, tetapi Mas Andre nggak ada di rumah,"
"O, iya, Mas. Saya dan istri kemarin sedang pergi," aku mengelap mulut dengan tangan. Mulutku masih kepedasan.
"Baru makan, Mas? Maaf kalau ganggu. Saya pamit dulu,"
"Eh, enggak, Mas. Baru makan rujak. Ayo ikutan, Mas,"
"Ah, enggak, Mas. Saya pamit aja,"
"Lho, enggak apa-apa, Pak. Ayo, Mas," aku terus merayu Mas Joko agar mau menyantap rujak buatan kami.
Awalnya Mas Joko enggan. Namun, pada akhirnya dia mau. Kami bertiga pun meriung di ruang tengah.
Ini bukan kali pertama Mas Joko menyantap rujak buatan aku dan Dian. Sebelumnya, kami beberapa kali makan bersama.
Bahkan istrinya pun beberapa kali bergabung. Maklum, rumah kami bersebelahan.
"Gimana, Mas?"
"Huaaaa," Mas Joko mengipasi mulutnya. Dia sudah menghabiskan dua gelas es teh. Kami tertawa lebar. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News