Aku Menelan Ludah, Doi Menolakku Mentah-Mentah

21 Juli 2021 22:30

GenPI.co - Aku melihat dia melangkah dari tempat parkir. Gagah seperti biasanya. Kemeja flanel warna biru pudar yang dia padukan dengan kaos putih ketat terlihat sangat pas. Dengan fisiknya, dengan pembawaannya.

Hatiku berdesir.

“Nunggu lama?”, sapanya sambil mengambil tempat duduk di hadapanku.

BACA JUGA:  Aku Kaget, Mantan Pacarku Kini Jadi Janda Muda, Oh…

“Nope. Gue juga udah pesenin minuman buat kita. Biar tu waiter gak bolak-balik”, jawabku.

“Kirain bakal rame ama anak-anak”, celotehnya.

BACA JUGA:  Keluar 4 Kali dengan Janda Muda, Aku Kewalahan

“Gue emang sengaja cuma minta Lo yang dateng. Gue mau ada perlu ngomong hal yang lumayan serius ama Lo”.

“Weh, ada apa, nih?”.

Aku sudah hendak menjawab ketika kulihat waiter datang membawa pesananku. Jadi kutunda. Kubiarkan dia menyesap dulu kopi kesukaannya.

“Jadi, ada apa?”, tanyanya setelah selesai dengan tegukan kopinya.

Aku menelan ludah. Mengumpulkan lagi keberanian yang sudah aku persiapkan dari kemarin.

I have to say it. I need to say it.

I Love You”, bisikku.

“You what?”, tanyanya, mungkin untuk meyakinkan pendengarannya.

“You’ve heard me”.

Ada jeda panjang di antara kami. Jadi aku memutuskan untuk melanjutkan omonganku.

“Hyup. Gue demen ama Lo. Gue juga gak tau pasti sejak kapan ada ‘lonjakan’ perasaan ini, dan kenapa harus Lo. Tapi ya, gue cuma berusaha nikmatin aja yang gue rasain, sih”.

“Gue gak tau musti ber-reaksi apa”, katanya lirih.

“Mungkin dengan tanggapan jujur apa perasaan Lo soal perasaan gue”.

Dia tak bisa langsung menjawabnya. Ada banyak pemikiran yang bisa kubaca dari mimik dan bahasa tubuhnya. Ada enggan di tatapan matanya. Ada ragu di kedut bibirnya yang samar kutangkap.

“Maaf, Ra. Lo baik banget ama gue. Baik banget. Dan itu yang bikin gue ngerasa gak enak untuk bilang bahwa perasaan Gue ke Lo sayangnya gak sama”, akhirnya.

Aku tersenyum. Tulus, kuraih pergelangan tangannya.

“Gapapa. Gue justru lebih menghargai kejujuranmu sekarang. Aku bisa jadi akan lebih murka kalo di kemudian hari gue tau kalo Lo nanggepin baik omongan gue sekarang hanya karena alasan balas budi”, sergahku.

“Jadi, kita masih bisa berteman baik?”, tanyanya. Aku merasakan sedikit nada khawatir dalam omongannya.

“Oh come on. Kita sudah gak di umur segitu untuk membahas perkara seperti itu deh, Fer. We are two adults, sitting here talking about our feeling. Ya iyalah kita tetep bisa berteman baik”.

“Tentunya, setelah kita pulang dari sini, gue akan butuh sedikit waktu untuk sendiri. Untuk berfikir, untuk menikmati perasaan gue yang sedang campur aduk antara, maaf, kecewa dan lega ini. Tapi sungguh, Lo gak perlu khawatir. Pembicaraan ini gak perlu ngubah apapun yang udah ada di antara kita”, tambahku.

Aku menjadi semakin yakin, aku punya alasan untuk apa yang kurasakan padanya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co