GenPI.co - Langit Cepu, Blora, Jawa Tengah, hari ini terlihat sangat mendung. Gelap, seperti kamar pengantin baru saat malam.
Mendung pun berganti dengan hujan. Deras, menghujani jalan Cepu yang tak terlalu sesak.
Hujan ini mengingatkanku kepada seseorang. Seorang perempuan yang memperkenalkanku kepada sepi.
Dia ialah Mika. Seorang perempuan yang punya senyum bak pelangi.
Punya banyak warna dan sayang untuk diabaikan. Mika juga punya tatapan mata yang tak biasa.
Saat dia menatap, semua yang ada pada diriku seakan berhenti. Diam dan tak berdaya dengan tatapannya.
Kali pertama aku melihatnya, cinta langsung tumbuh subur di hatiku. Anehnya, cinta itu tetap bertahan meski sudah sebelas tahun berlalu.
"Kamu tahu dari mana cinta berasal?" tanyaku pada Mika.
"Dari mana?" jawabnya.
"Dari matamu, lalu turun ke hatiku," jawabku.
Sudah tiga tahun lamanya aku tak bertemu dengannya. Wajar jika hujan ini mengingatkanku padanya.
Selama ini, dia pergi mengejar impiannya di Jakarta. Katanya, dia ingin menjadi seorang pengacara yang hebat.
"Biar aku bisa membela banyak orang, seperti pahlawan," kata Mika dahulu.
"Saat ini pun, kamu sudah menjadi pahlawan, di hati dan pikiranku," jawabku dalam hati.
Selama tiga tahun ini, aku selalu menunggu kabar dari Mika. Terus mencari juga bagaimana keadaannya.
Mika seperti hilang di telan bumi. Keluarganya pun juga tak pernah memberitahu bagaimana kabarnya.
"Nanti, Mika akan memberitahumu sendiri," kata Ibu Mika.
Ya, sebelum pergi ke Jakarta, Mika memang menyampaikan hal penting. Hal itu terkait pertemuan kami.
"Kita akan lama. Namun, Stasiun Cepu akan kembali mempertemukan kita," jelasnya.
Selama satu tahun terakhir ini, aku pun selalu menunggu kehadiran Mika di Stasiun Cepu.
Setiap pukul 1.30 WIB, aku selalu berharap dia turun dari kereta asal Jakarta.
Aku selalu menunggu Mika dengan penuh harapan dan perasaan.
Berharap dia kembali dengan tetap menyimpan cinta di hati. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News