Buih-Buih Cinta Meleleh di Pinggir Pantai, Aku Terkulai Lemas

12 Februari 2022 23:55

GenPI.co - Aku tak menjawabnya. Dia diam menungguku bicara.

“Emmm… OK, mungkin ini terlalu berlebihan, dan mungkin musik ini sangat tidak sesuai dengan selera musikmu. Mau coba dengerin? Gak usah peduliin musiknya kalo emang gak suka. 

“Cermatin aja liriknya”, kataku sambil memberikan kedua headsetku.

BACA JUGA:  Pedang Menantu Sungguh Sakti, Sekali Dipegang Aku Menjerit-jerit

Ragu, dia menerimanya dan memasang di telinganya.

Aku tak pernah tahu mengapa kamu selalu ada di hidupku.

BACA JUGA:  Besar dan Kokoh, Tongkat Milik Menantu Membuatku Berbinar-binar

Kita pun tidak punya satu ikatan cinta

Mengapa oh mengapa kita tak bisa menjadi sepasang kekasih hati selamanya

Padahal kita kan saling mencintai satu sama lain

Tetapi mengapa oh mengapa..

Dia mengangsurkan balik headsetku.

“Eh… udah? Gimana menurutmu?”, tanyaku, sedikit tersipu untuk menanyakan reaksinya dari sebuah lagu. Konyol.

“Kadang aku heran. Orang seserius kamu bisa suka dengan lagu picisan seperti itu”, katanya santai, sambil melemparkan satu batu pipih ke deburan ombak yang sudah terlanjur pecah, membuat pantulan tiga kali sebelum tenggelam.

“See?! Benar aku tadi tak menanyakanmu soal itu!”, kataku sambil mematikan pemutar musikku, kemudian berdiri, lebih memilih untuk berenang daripada melanjutkan obrolan ini.

Dia menarik tanganku, memintaku duduk kembali di sampingnya dengan pandangan mata dan senyum yang selalu kupuja.

Ah, aku benci jika egoku sudah luluh lantak oleh senyum itu. Senyum yang dulu membuatku tak pernah berani memandanginya terlalu lama. Itu sebelum dia memintaku menjadi kekasihnya.

Aku duduk kembali di tempatku tadi, memandang laut.

“Kau belum merasa sepasang denganku?”, tanyanya. Aku yakin dia pun tak memandangku.

“Bukan itu maksudku, Ri. Jangan pojokkan aku dengan pertanyaan konyol seperti itu”, aku mengubah posisi dudukku, sedikit menyamping ke arahnya yang masih bergeming memandang buih.

“Jika tidak, kenapa kau harus menangisi keadaan hanya karena satu lagu konyol seperti itu? Apa sebuah ikatan bagimu harus diucapkan dengan gegap gempita?

Harus semua orang tahu? Padahal bukankah urusan cinta cukup kita saja yang merasakannya?! Lebih banyak orang yang tak bisa mengerti rasa di antara kita, Ra”.

Aku hanya bisa tertunduk. Tak tahu harus berkata apa.

“Kau menginginkan sebuah status dipikiran orang-orang sekitar kita? Hanya jika memang itu membawa sesuatu yang positif untuk kita, aku bisa kalau kau memang menginginkannya, Ra”, cecarnya.

“Atau kau menitikberatkan pada kata –selamanya- dalam lagu itu? Kalau memang iya, kenapa tak kau katakan padaku?”, lanjutnya.

“Aku… aku…”.

Dia menggenggam tanganku, erat. Kuat.

“Aku tak bisa menjanjikan kata –selamanya- itu jika kau sendiri masih terjebak pada pikiran seperti ini. 

“Tapi jika saja kau berani memintanya, mungkin aku akan menyanggupinya. Karena aku sendiri sudah yakin, bahwa jika cinta itu memang nyata, maka itu adalah kamu adanya”, dia menatapku, dalam keseriusan yang dipenuhi binar cinta.

“Aku percaya, Ri. Aku percaya”, kataku sambil menghambur ke dalam pelukannya.

Dia memelukku, erat. Kesunyian pantai ini menjadi saksi, bahwa cinta kami memang sejatinya hakiki.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co