GenPI.co - Halo, perkenalkan namaku Riski Wayan Setiawan. Umurku 19 tahun dan saat ini tinggal di Kota Semarang.
Perkenalan pertamaku dengan Islam sudah sejak kelas tiga sekolah dasar.
Cukup unik sebenarnya, saat itu sekolah tidak memiliki guru agama yang saat itu aku peluk.
Akhirnya dengan terpaksa aku harus ikut pelajaran agama Islam.
Dari situ aku mulai belajar hafalan surah-surah pendek untuk bacaan salat hingga praktik salat.
Waktu itu guru agama SD ku juga belum tahu aku non-Islam.
Pelan-pelan aku mulai tertarik untuk masuk ke agama Islam.
"Niat masuk Islam, tetapi aku masih anak-anak. Aku takut tidak tahu jalan dan bagaimana dengan orang tuaku?" batinku.
Niat masuk Islam aku urungkan kala itu. Dunia terus berjalan dan pikiran masuk Islam pun menghilang seiring aku yang mulai rajin sekolah agama Hindu tiap Minggu.
Berbeda dengan SD, waktu SMP aku benar-benar memegang teguh ajaran agama lamaku.
Nah, saat SMA aku mulai bersinggungan lagi dengan Islam.
Aku mulai puasa Senin dan Kamis karena kupikir itu puasanya orang Jawa.
Puncaknya pada kelas tiga SMA, dunia Islam makin masuk perlahan ke kehidupanku.
Aku jadi suka mendengar selawat dan ceramah ustaz-ustaz di Facebook.
Namun, sinar-sinar agama Islam mendadak redup lagi ketika aku mulai memasuki dunia kerja.
Aku kembali tekun menjalani ibadah agama lamaku.
Sampai akhirnya aku mendapat hidayah lewat mimpi dan rangkaian kejadian sehari-hari yang membuatku memikirkan kematian.
Suatu kali aku sempat begitu ketakutan dengan kematian.
Di media sosialku, entah kenapa juga dipenuhi kutipan-kutipan soal alam kubur.
Sejalan dengan itu, aku juga mulai memikirkan kiamat yang kemudian mengantarkanku ke Al-Qur'an.
Aku pun melihat kesamaan antara kitab agamaku dengan Al-Qur'an.
Keduanya memiliki penjelasan soal kiamat, tetapi versi Al-Qur'an terasa lebih lengkap.
"Aku percaya Al-Qur'an adalah penyempurna kitab terdahulu," pikirku.
Di saat kegundahanku, aku kembali bermimpi ada seseorang menggunakan pakaian serba putih bersinar di ruang yang gelap.
Di sana hanya ada pintu berwarna putih yang bersinar dan seolah mengajakku masuk.
Aku pun terbangun dan kembali memikirkan siapa sosok tersebut.
Pelan-pelan aku mulai membuka diri sepenuhnya untuk belajar Islam.
Singkatnya, seorang teman lalu mengajakku mengikuti pengajian Islam dan memperkenalkanku dengan Mualaf Institute.
Entah kenapa, aku merasa Allah memberi petunjuk melalui Habib Syarif Al Attas untuk bertemu seorang kiai yang mengajarkanku ilmu tauhid.
Minggu berikutnya aku kembali bertemu kiai tersebut, tetapi dengan posisi belum mualaf.
Sang Kiai kemudian memintaku untuk segera masuk Islam.
Butuh tiga bulan hingga aku masuk Islam setelah hari itu.
Meski orang tua sempat tidak setuju, pelan-pelan semua menghormati keputusanku.
"Alhamdulillah sampai sekarang jalan untuk belajar agama selalu dipermudah," ucapku.
Kisah mualaf ini seperti dituturkan Riski Wayan Setiawan kepada GenPI.co.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News