GenPI.co - Hujan turun cukup deras malam ini. Aku masih termenung di kamar. Kubiarkan beberapa barangku bertebaran.
Kamarku sangat berantakan. Aku tidak peduli. Aku sangat malas membersihkan kamarku.
Kuambil HP, lalu kumainkan. Aku terus berselancar di media sosial. Tidak ada konten yang menyenangkan.
Aku tidak menemukan kebahagiaan. Aku merebahkan badan di kasur, lalu menatap langit-langit kamarku.
“Balas atau tidak, ya?” ujarku dalam hati.
Aku masih gamang. Kegalauan memayungiku. Malam itu aku memang sedang di persimpangan jalan.
Ada pesan masuk dari Andre. Dia sudah mengirimkan pesan sejak dua hari lalu. Namun, aku belum membukanya.
Kubiarkan pesan di WhatsApp (WA) tak terbaca. Aku memang sengaja. Aku ingin menumpahkan dendam.
Selama ini aku yang selalu menghubunginya. Aku yang selalu memintanya berkomunikasi.
Namun, kali ini aku bersikukuh membalasnya. Aku mendiamkan pesannya. Pada awalnya, aku merasa menang.
Akan tetapi, aku justru terus larut dalam kegelisahan. Aku malah makin tidak tenang. Seperti ada dosa menghampiriku.
Aku tidak tahu apakah itu dosa atau tidak. Yang pasti batinku bergemuruh.
Aku kembali mengambil HP, lalu membuka WhatsApp. Aku hendak membuka isi chat dari Andre.
Namun, aku gengsi. Harga diriku sangat tinggi. Dendamku belum bertepi. Aku masih ingin membalasnya.
“Kalau dia tidak masalah, bagaimana?” batinku berkecamuk.
Anak itu memang sialan. Dia bisa saja membuatku berderai dengan perasaan berbunga-bunga.
Namun, Andre juga bisa membuat jantungku merasakan sakit. Sakit yang sangat dalam. Sakit yang tidak terperi.
Aku mengalah. Rinduku sudah membuncah. Aku membuka pesannya, lalu membalasnya.
“Nggak enak, kan, kalau balas pesan ditunda-tunda?” balasku.
Andre ternyata online. Dia langsung membalas dengan cepat. Tumben, batinku. Jawabannya sangat pendek.
Andre hanya mengirimkan emoticon tertawa. Sialan, batinku. Aku kalah lagi soal urusan rindu. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News