GenPI.co - Jangan pernah meragukan cintaku kepadamu. Menunggu pun aku mau. Menunggumu adalah hal menyenangkan buatku.
Aku hampir saja mengirimkan pesan itu kepada Toni. Namun, aku mengurungkan niatku.
Keberanianku tidak terlalu besar untuk mengirimkan kalimat-kalimat tersebut. Aku menghapusnya.
Kupandangkan tatapanku ke luar jendela. Hujan turun rintik-rintik. Udara malam ini cukup dingin.
Sedingin hatiku. Aku memilih diam, lalu menatap foto Toni di HP. Cowok yang menyenangkan.
“Cieeeee,” tiba-tiba Nana sudah di depan pintu.
Aku langsung menutup HP. Wajahku memerah. Aku malu bukan kepalang.
“Apaan, sih?”
“Cieeee,”
Nana terus menggodaku. Aku membantingkan tubuhku ke kasur. Nana malah mendekatiku. Sialan, batinku.
“Mau sampai kapan menunggu?”
“Kenapa memangnya?”
“Bukannya menunggu membosankan, ya?”
“Kali ini enggak,”
Nana sangat tahu perasaanku terhadap Toni. Dia adalah bak sampah bagiku. Aku mencurahkan semuanya kepada Nana. Apa pun.
Nana sudah berulang kali memintaku melupakan Toni. Namun, aku tidak mau. Perasaanku terlalu besar. Cintaku terlalu menggebu.
Toni adalah cintaku sejak dahulu. Aku mencintainya sejak empat tahun lalu. Kami pernah tinggal berdekatan, tetapi tidak satu indekos.
Pertemuanku dengan Toni terjadi tanpa sengaja. Aku tanpa sengaja menjatuhkan buku. Toni membantuku. Mirip sinetron.
Entah mengapa setelah itu aku merasa jatuh cinta. Benar-benar absurd. Cinta memang terkadang aneh.
Aku menunggu Toni menyatakan cintanya. Namun, harapanku selalu berujung kelu. Toni selalu membisu tentang isi hatinya.
Tanpa terasa aku sudah memendam perasaan selama empat tahun. Toni pasti tahu, tetapi dia membiarkanku.
“Nggak ada deadline?”
“Cinta, kok, dikasih deadline,” aku melemparkan bantal ke arah Nana. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News