Kisah Mualaf: Masuk Islam Bukan Hal yang Sulit

16 April 2021 18:25

GenPI.co - Namaku Pascalis Alexius, teman-temanku biasa memanggilku Alex. Saat ini aku sedang menjalani studi S2 di universitas swasta di Jakarta

Pada 2011, saat aku masih duduk di bangku SMP, aku dan keluargaku memutuskan untuk bersyahadat.

BACA JUGA: Cerita Mualaf: Pertama Lihat Kabah Aku Mantap Peluk Islam

Saat itu, aku dan keluargaku dibantu oleh seorang ustadzah dari Masjid Istiqlal Jakarta yang rela jauh-jauh datang ke rumah kami untuk menuntun kami mengucapkan dua kalimat syahadat.

Aku saat itu tak terlalu memikirkan perihal identitas agama, sehingga aku ikut saja kedua orang tuaku untuk pindah ke Islam.

Setelah menjadi seorang mualaf, aku sempat diberi nama Muhammad Iqbal oleh sang ustadzah, tapi tak aku pakai.

BACA JUGA: Kisah Mualaf: Aku Masuk Islam Setelah Kehilangan Arah

Sebab, menurutku, nama itu tak mencerminkan kebatinan seseorang. Jadi, walaupun masih memiliki nama baptis, keimananku sudah berganti sepenuhnya.

Aku tak menganggap pindah agama dari Katolik ke Islam merupakan hal yang sulit. Pasalnya, kedua agama tersebut sama-sama menjalani ibadah, hanya caranya saja yang berbeda.

Umat Katolik dan Islam sama-sama menyembah Tuhan masing-masing. Jadi, secara spiritual, aku tak merasakan banyak perubahan.

Hanya saja, caraku melafalkan nama Tuhan dan doa yang terasa berbeda.

Saat pertama kali belajar beribadah, aku memulainya dengan mencari ayat-ayat dan tata cara salat di internet.

Aku juga mendapatkan bantuan dari guru bahasa Sunda di SMP saya. Dia mengajarkan cara salat ketika jam istirahat atau pulang sekolah.

Kebanyakan pelajaran ibadah aku dapatkan dari ekskul rohis ketika masuk SMA.

Sebelum keluargaku menjadi mualaf, kami jarang berinteraksi dengan keluarga besar. Jadi, sejauh pengetahuanku, tak ada permasalahan berarti di keluarga besar kami saat keluargaku menjadi mualaf.

Selain itu, keluarga saya tetap ikut merayakan hari raya agama yang dianut oleh keluarga besar kami, seperti natal.

Keluarga besar juga selalu memberikan selamat ketika keluarga kami merayakan hari raya seperti Lebaran, Maulid, dan Idul Adha.

Respons teman-teman aku juga baik ketika saya mengaku menjadi mualaf.

Awalnya sih, mereka menganggap aku bercanda, tapi mereka sama sekali tak mempermasalahkan agama baruku.

Beberapa orang memang ada yang berhenti menjadi temanku ketika aku menjadi mualaf. Namun, kehilangan teman yang tak tulus sama sekali tidak membuatku menjadi sedih.

Ada salah satu hal lucu yang masih kualami hingga hari ini. Aku merasa ketika bertemu orang baru yang beragama muslim, mereka cenderung memperlakukanku dengan lebih baik setelah mereka tahu bahwa aku seorang mualaf.

Aku pun tak tahu mengapa aku merasa menerima perlakukan seperti itu.

Menurutku, beragama itu merupakan proses yang kamu jalani dan pelajari setiap harinya.

Oleh karena itu, menganut agama dan keyakinan itu tak bisa dipaksakan, karena semua tergantung internalisasi dan kenyamanan seseorang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co