Kesaksian Warga: Situasi Myanmar Ibarat Zona Perang di Neraka

21 Februari 2021 22:47

GenPI.co - Pertumpahan darah terjadi selama protes massal di Myanmar yang menentang kudeta militer 1 Februari atas penggulingan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi miliknya.

Protes itu membuat polisi melepaskan tembakan ke pengunjuk rasa di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, dan menewaskan dua orang, termasuk seorang anak berusia 16 tahun yang ditembak di kepala, serta melukai lebih dari 20 orang.

BACA JUGA: Israel Isyaratkan Kembali Hidup Normal Usai Vaksinasi Dekati 50%

Kota terbesar Yangon, telah menyaksikan protes terbesar dengan ratusan ribu orang turun ke jalan, tetapi sejauh ini tidak ada tindakan keras terhadap demonstrasi di sana.

Lain ceritanya di Mandalay dan bagian lain Myanmar, di mana polisi dan tentara menggunakan metode yang semakin kejam untuk memadamkan protes.

Seorang dokter yang berada di garis depan protes hari Sabtu (20/2/2021) di Mandalay menggambarkan adegan yang mengingatkan pada "zona perang".

Dia dan timnya menyaksikan polisi mengerahkan meriam air, memukuli pengunjuk rasa, dan menembaki mereka dengan peluru tajam, peluru karet, dan ketapel.

Insiden pertama terjadi di dekat pelabuhan Mandalay, di mana para pelaut menduduki sebuah kapal dan melepaskan peralatan sehingga tidak bisa berangkat, sebagai bagian dari gerakan pembangkangan sipil yang berkembang yang bertujuan untuk melumpuhkan pemerintahan militer.

Kemudian, sekelompok pengunjuk rasa juga berkumpul di dekat pelabuhan, menciptakan kerumunan yang tidak bisa dilewati polisi. Setelah bernegosiasi dengan kepala kapal, para pelaut memberi tahu para pengunjuk rasa untuk mengizinkan polisi lewat.

“Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada seorang wanita tua yang hanya menonton protes dari rumahnya dan polisi menyerangnya. Dia mengalami cedera kepala yang parah,” kata dokter itu, dalam pernyataannya, seperti dilansir dari Aljazeera, Minggu (21/2/2021).
 
Timnya lalu dipanggil oleh polisi untuk merawat dua pengunjuk rasa yang terluka parah yang saat itu tengah ditahan di sebuah mobil polisi.

“Salah satu kepalanya terluka dan perlu dijahit. Yang lainnya memiliki dua luka tembak di sisi paha. Dari apa yang saya lihat, itu tidak terlihat seperti peluru karet. Pasien terlalu banyak mengeluarkan darah,” jelasnya.

Dokter meminta polisi membebaskan kedua orang yang terluka itu sehingga dia bisa memberi mereka perawatan medis darurat, tetapi polisi menolak.

Dari sana, dokter dan timnya pergi ke 40th Street, di mana situasinya “jauh lebih buruk” dengan beberapa pengunjuk rasa “terluka parah”, termasuk seorang dengan luka tembak di perut yang sedang dirawat oleh dokter lain.

“Saya berada di dalam biara membantu yang terluka yang dibawa masuk oleh warga sipil lainnya. Bahkan saat saya merawat yang terluka, mereka terus menembaki biara. Kami bisa melihat banyak peluru," terangnya.

Sementara, seorang aktivis mahasiswa di Mandalay, menambahkan bahwa pengunjuk rasa berisiko "ditangkap, dipukuli atau ditembak".

Aktivis mahasiswa itu menyatakan pegawai negeri yang berpartisipasi dalam pemogokan nasional telah diancam dan beberapa ditahan. Aktivis dan penyelenggara protes juga menjadi sasaran pasukan keamanan.

“Mereka telah membobol kantor Serikat Mahasiswa, ada mata-mata di antara kerumunan protes dan mereka membuntuti kami serta menyerbu rumah kami pada malam hari,” ungkap aktivis tersebut.

Dalam insiden lain yang memicu kemarahan yang meluas, seorang remaja berusia 21 tahun dengan cerebral palsy dipukuli secara brutal oleh polisi di Mandalay saat bekerja sebagai sukarelawan untuk membersihkan sampah setelah protes.

Demonstrasi juga telah dibubarkan dengan kekerasan di Negara Bagian Mon, Negara Bagian Kachin, dan ibu kota Naypyidaw yang terisolasi, di mana seorang wanita berusia 19 tahun yang ditembak di kepala oleh polisi selama protes.

“Penembakan terhadap pengunjuk rasa damai di Myanmar sangat luar biasa. Kami akan mempertimbangkan tindakan lebih lanjut, dengan mitra internasional kami, melawan mereka yang menghancurkan demokrasi dan mencekik perbedaan pendapat," demikian peryataan perwakilan kedubes Inggris.

Sedangkan, wakil direktur Human Rights Watch divisi Asia, Phil Robertson, menyebut "waktu untuk berbicara sudah berakhir dengan Myanmar".

“Pemerintah dan PBB perlu memberikan sanksi lebih dulu terhadap perusahaan yang dikendalikan militer Myanmar sekarang untuk menunjukkan Min Aung Hlaing dan Dewan Administrasi Negara junta betapa suram masa depan mereka jika mereka terus menempuh jalan ini,” kata dia.

BACA JUGA: Facebook Militer Myanmar Hilang Usai 2 Nyawa Meregang

Bagi Robertson, militer Myanmar telah secara sembrono membunuh warga sipil selama seluruh keberadaannya, termasuk selama kampanye brutalnya melawan etnis minoritas.

"Militer Myanmar beroperasi di atas dasar bumi yang hangus, membunuh warga sipil yang melarikan diri, menyiksa dan membunuh pria yang mereka tangkap dan pemerkosaan wanita dan gadis. Ini sangat mengerikan, dunia harus bersatu mengutuk negara itu," tuturnya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co