Ombudsman Temukan Maladministrasi dalam TWK KPK, Mencengangkan!

22 Juli 2021 20:03

GenPI.co - Ombudsman menemukan adanya dugaan maladministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).

Seperti diketahui, sebelumnya tes tersebut dijadikan syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan bahwa penyalahgunaan itu terletak mulai dari rangkaian proses pembentukan kebijakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.

BACA JUGA:  75 Pegawai KPK Menang! Kejanggalan TWK Mulai Terbongkar

“Lalu pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan tahap penetapan hasil asesmen tes wawancara kebangsaan,” ujar Robert dalam konferensi pers virtual, Rabu (21/7/2021).

Ombudsman juga menemukan adanya penyisipan aturan dalam proses pembentukan kebijakan yakni penyimpangan prosedur hingga penyalahgunaan wewenang.

BACA JUGA:  Setelah Kian Terjepit, Akhirnya KPK Angkat Suara

“Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini,” kata Robert.

Bahkan, Robert juga mengatakan bahwa Ombudsman menilai adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021.

BACA JUGA:  Makin Panas, Novel Baswedan Bilang Ada Pengkhianat di Tubuh KPK

Dia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi.

Dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrasi, dan panja. Hal ini dipatuhi hingga harmonisasi pada Desember 2021.

Kendati demikian, dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.

“Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham, dan MenPAN-RB. Sesuatu yang luar biasa,” papar Robert.

Menurut Robert, berita acara rapat harmonisasi itu justru diteken oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat.

Di antaranya yakni seperti Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.

“Sekali lagi, yang hadir pimpinan, tetapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT. Ada penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang," jelas dia.

Robert juga mengatakan bahwa kehadiran pimpinan harus dikoordinasikan oleh dirjen. Sebab, dirjen tidak mungkin memimpin harmonisasi yang pesertanya adalah atasannya.

“Ada penyalahgunaan wewenang, karena tanda tangan justru dilakukan oleh yang tidak hadir, yakni Kabiro Hukum dan Direktur pengundangan,” ungkap Robert.

Lebih jauh, Robert mengatakan, Peraturan KPK Nomor 12 Tahun 2018 menyatakan, penyelarasan produk hukum peraturan wajib memperhatikan aspirasi atau pendapat pegawai KPK.

Sayangnya, menurut Robert, hasil pembahasan harmonisasi hingga pengundangan tidak lagi disebarluaskan di portal internal KPK.

Hal ini menyebabkan tidak adanya mekanisme pagawai KPK untuk mengetahui apalagi menyampaikan pendapat.

“Mungkin dari gosip atau informal tahu, tetapi tidak resmi dan tidak ditempatkan di portal internal KPK selama proses yang sangat penting,” jelas dia.

Menurut Robert, KPK tidak menyebarluaskan setelah dilakukan proses perubahan enam kali rapat. Atas dasar itu, Ombudsman menyatakan pimpinan dan Sekjen KPK melakukan tindakan korektif.

“Salah satunya dengan menjelaskan kepada pegawai KPK mengenai konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya. Dalam bentuk informasi atau dokumen sah," tutur Robert.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri Reporter: Panji

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co