GenPI.co - Anggota Komisi VI DPR, Achmad Baidowi, mengatakan bahwa aparat penegak hukum tidak lebih gesit dari pencuri.
Hal itu disampaikan untuk menggambarkan kondisi praktik politik uang di Indonesia.
“Meskipun Bawaslu sudah mengawasi jalannya pemilu, kecolongan-kecolongan itu pasti masih bisa terjadi,” ujar Achmad Baidowi dalam diskusi 'Bedah Buku Demokrasi, Pemilu, dan Politik Uang', Selasa (9/11).
Baidowi mengatakan bahwa seorang anggota Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) sudah diamanatkan dalam undang-undang untuk mengawasi satu tempat pemungutan suara (TPS).
Kenyataannya, satu TPS bisa memiliki sekitar 300 pemilih. Baidowi pun mempertanyakan bagaimana mungkin satu orang mengawasi pergerakan 300 orang.
“Anggota Bawaslu juga melakukan pengawasan di TPS, padahal praktik politik uang biasa terjadi sebelum hari pemungutan,” katanya.
Meskipun begitu, Baidowi menegaskan bahwa politik uang sebenarnya tak menentukan pilihan para konstituen.
“Keakuratan politik uang itu hanya 30 persen. Sebab, satu orang itu bisa menerima politik uang dari beberapa peserta pemilu,” ungkapnya.
Politisi PPP itu pun menegaskan bahwa maju sebagai calon anggota legislatif memang membutuhkan modal.
Namun, tak semua politisi pasti melakukan politik uang.
“Ongkos politik itu pasti ada, tetapi tidak selalu uang itu digunakan untuk praktik politik uang,” tuturnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News