GenPI.co - Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono tak mampu memahami nilai-nilai konstitusionalisme.
Hal tersebut dia ucapkan untuk menyoroti pernyataan Fajar Laksono terkait presiden 2 periode boleh mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden alias cawapres pada periode berikutnya.
“Fajar hanya membaca teks pasal tanpa mampu memahami yang ada di dalamnya,” ujar Bivitri kepada GenPI.co, Rabu (14/9).
Menurut Bivitri, pernyataan Fajar Laksono tentang adanya jalan yang memungkinkan presiden bisa mencalonkan diri sebagai cawapres tidak tegas.
“Ada tujuan pembatasan kekuasaan dalam setiap konstitusi. Dalam konteks itulah dulu pasal pembatasan kekuasaan itu dibuat,” tuturnya.
Dirinya juga menegaskan bahwa humas bukan merupakan hakim dan tidak boleh mewakili MK dalam hal pertanyaan menafsirkan konstitusi.
“MK itu pengadilan, bukan kementerian. MK hanya beropini jika ada perkara melalui putusannya. Hanya Mahkamah Agung (MA) yang bisa mengeluarkan fatwa,” kata dia.
Menurutnya, MA seharusnya melakukan proses musyawarah hakim dan prosedur untuk mengeluarkan fatwa tersebut.
“Jadi, saya tidak setuju pendapat Fajar. Sebab, dia hanya melihat pasal dan tidak melihat nilai konstitusional tentang pembatasan kekuasaan,” ucapnya.
Menurut Bivitri, presiden tidak bisa mencalonkan diri sebagai cawapres lantaran terdapat nilai inkonstitusional.
“Bayangkan kalau presiden di periode selanjutnya selesai di tengah jalan. Sesuai konstitusi, sang wakil yang pernah 2 kali menjabat harus diangkat menjadi presiden,” ucapnya.
Akan tetapi, menurutnya, syarat menjadi presiden yang diangkat dari wakil presiden tak bisa terpenuhi lantaran sudah pernah menjabat 2 perioden.
“Itulah enggak logisnya, dipaksakan. Jadi, itu inkonstitusional, bukan soal turun jabatan (jadi wakil presiden, red),” pungkas Bivitri. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News