Keajaiban Sedekah: Ayahku Sembuh dari Sakit

02 Agustus 2021 14:18

GenPI.co - Hidupku terasa hancur pada 2018. Ayahku sakit keras. Dia tidak bisa beraktivitas dengan leluasa.

Langit seolah runtuh menimpaku. Bagiku, ayah adalah segalanya. Ibuku sudah meninggal pada 2012.

Aku dilanda kebingungan. Ayah harus berobat, sedangkan tabunganku belum terlalu banyak.

BACA JUGA:  Kisah Cinta Miguel Oliveira yang Nyentrik, Adik Sendiri Dipacari

Aku sering kehilangan konsentrasi saat bekerja. Ada saja berbagai kesalahan yang kulakukan.

"Kamu ada masalah, Gas?" tanya Pak Joko, bosku.

BACA JUGA:  Kisah Cinta: Jodohku Datang dengan Cara Tidak Diduga

"Enggak, Pak. Saya memang teledor. Saya perbaiki, Pak," ujarku.

Aku memang salah. Aku berjanji mengerahkan tenaga dan pikiran semaksimal mungkin.

BACA JUGA:  Selamat Jalan Ma, Sekarang Sudah Tak Sakit Lagi

Namun, aku tidak bisa. Aku selalu terbayang wajah ayah. Setiap senggang, aku selalu mencari tahu biaya operasi untuk ayah.

Aku pun bertanya kepada orang-orang. Ternyata mahal. Bisa puluhan juta. Bahkan mendekati Rp 100 juta.

"Nggak ada asuransi?" tanya Alfin, temanku.

Aku menggeleng lemah. Pikiranku buntu. Aku bingung mau bagaimana lagi. Setiap hari pikiranku kalut.

Aku bertambah sesak setiap kali pulang dan melihat kondisi ayah. Ayah sepertinya benar-benar kesakitan.

Aku mengecek saldo di rekeningku. Cuma ada Rp 20 juta. Masih jauh dari kebutuhan untuk operasi ayah.

Aku berusaha mencari pinjaman ke bank. Namun, aku tidak punya jaminan. Aku harus mendapatkan uang Rp 80 juta. Entah bagaimanapun caranya.

Seumur hidup aku belum pernah berutang sebanyak ini. Akan tetapi, aku tidak punya pilihan lain.

Ternyata mencari utangan juga tidak mudah. Teman-temanku tidak ada yang bisa memberikan pinjaman.

Aku hanya bisa meminjam dari kantor Rp 10 juta. Kekurangannya masih sangat banyak. Aku makin bingung.

Sore itu ada Mbah Supar datang ke rumahku. Dia hendak meminjam uang untuk menyambung hidup.

Mbah Supar adalah janda yang sudah sangat uzur. Untuk berjalan saja dia cukup kesusahan.

Aku bingung mau memberi atau tidak. Biasanya aku memang sering memberi uang secara sukarela kepadanya tanpa diminta.

Namun, kali ini situasinya berbeda. Aku diimpit kebutuhan besar. Uang sekecil apa pun terasa besar bagiku.

Kuputuskan memberi Mbah Supar Rp 100 ribu. Aku berusaha ikhlas. Mbah Supar terlihat sangat senang.

Dia sampai berulang kali mengucapkan terima kasih. Entah kenapa ada perasaan sangat bahagia di hatiku.

Besoknya, aku sengaja pulang cepat. Pikiranku sudah tidak tercurah di kantor. Aku ingin menemani ayah.

Sepanjang jalan aku sangat kalut. Aku belum mendapatkan uang tambahan. Entah kenapa aku malah teledor.

Aku membeli apa pun yang dijual pedagang-pedagang tua di pinggir jalan. Aku juga memberi uang kepada para pengemis.

Saat tiba di rumah, aku juga memberi uang kepada anak-anak yatim di sekitar rumah. Seperti ada tangan yang membimbingku.

Setelah itu aku merasa puyeng. Uangku menipis.

Tidak berselang lama Pak Broto datang ke rumah. Dia teman ayahku. Mereka sudah seperti kakak dan adik.

"Kok kamu nggak bilang kalau ayah sakit?"

Aku bingung mau menjawab apa. Pak Broto langsung memegang tubuh ayah. Aku hanya melihat.

"Bapak panggilin teman bapak. Dia pintar urusan pengobatan alternatif,"

Pak Broto langsung menelepon seseorang. Mereka mengobrol serius. Aku ke dapur untuk membuatkan teh manis bagi Pak Broto.

Setengah jam kemudian teman Pak Broto datang. Namanya, Pak Huda. Pak Broto langsung membawa Pak Huda ke kamar ayah.

Pak Huda langsung membuka tasnya. Dia mengeluarkan beberapa daun dan akar-akaran. Aku disuruh merebusnya.

Setelah jadi, rebusan itu langsung diminumkan kepada ayah. Tidak ada reaksi apa pun.

"Nanti tiap hari Pak Huda ke sini," kata Pak Broto.

Aku menarik Pak Broto keluar. Aku berbicara dengan pelan agar Pak Huda tidak mendengar.

"Berapa biayanya, Pak?" tanyaku dengan waswas.

"Nggak bakal mau dibayar kalau bapak yang minta tolong,"

Aku bingung, tetapi senang. Namun, aku juga tidak enak hati kepada Pak Huda. Dia sudah merelakan datang, tetapi tidak diberi uang.

"Coba aja kalau kamu nggak percaya," Pak Broto seolah bisa membaca pikiranku.

Setelah Pak Huda selesai merawat ayah, dia langsung keluar kamar. Pak Broto sedang di teras rumahku.

"Maaf, Pak. Saya harus bayar berapa, ya, Pak?"

Pak Huda hanya tersenyum. Senyumnya tulus. Dia malah menyuruhku memberikan uang kepada tetangga-tetangga yang membutuhkan.

"Obati ayahmu dengan sedekah, Nak," ujar Pak Huda.

Aku terpaku. Namun, aku tetap mengikuti anjurannya. Aku mengambil sebagian uang di rekening, lalu menyedekahkannya.

Setelah itu Pak Huda setiap sore datang bersama Pak Broto. Pak Huda memberikan jamu dan pijatan-pijatan ke tubuh ayah.

Ajaib. Tidak sampai dua minggu ayah sembuh. Ayah sehat seperti sediakala. Aku girang bukan kepalang. Aku sampai menangis.

Aku langsung memeluk Pak Broto, lalu Pak Huda. Aku masih sesenggukan. Mereka mengelus kepalaku.

"Jangan lupa pesan bapak, ya, Nak. Ringankan bebanmu dengan berbagi ke orang lain," ujar Pak Huda.

Aku mengangguk, lalu mencium tangan Pak Huda dengan takzim. Dua hari berselang aku kembali mengambil sebagian tabunganku.

Aku membagikannya kepada janda, anak-anak yatim, dan orang yang membutuhkan di desaku. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co