GenPI.co - Asslamualaikum. Namaku Maksimus Nong. Umurku saat ini 66 tahun. Aku lahir di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kisah mualaf yang kualami dimulai pada 41 tahun lalu. Saat itu aku menikah dengan wanita pujaanku di Kendari.
Namun, aku tidak serta-merta langsung menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai muslim.
Perjalanan hijrahku cukup panjang. Pada awalnya, aku tidak tahu-menahu tentang mengaji dan puasa.
Aku pun tidak terlalu paham gerakan dan bacaan salat. Namun, istriku terus membimbingku.
Jawabanku selalu sama. Aku sering bilang, “Iya, nanti. Insyaallah,”.
Sebenarnya, alasanku menunda hijrah ialah karena tidak mau salat hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Aku ingin beribadah dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar ingin ikhlas saat beribadah setelah memeluk agama Islam.
Duka menghampiriku pada Juli 2020. Istriku meninggal dunia. Aku sangat sedih. Aku benar-benar kehilangan.
Keinginan untuk berubah tiba-tiba datang saat jenazah istriku dibawa ke masjid untuk disalati.
Aku berniat hijrah. Aku ingin menghabiskan hidupku untuk beribadah. Saat itu usiaku 64 tahun.
Aku belajar bacaan dan gerakan salat melalui buku dan televisi. Aku juga memperhatikan imam di masjid.
Setelah itu, aku mulai belajar membaca dan menghafal surah-surah pendek serta amalan sunah lain.
Saat ini aku sudah bisa mengumandangkan azan. Aku merasa hidupku lebih tenang.
Keinginanku saat ini ialah fokus beribadah dan memperbaiki diri.
(Kisah mualaf seperti yang dituturkan Maksimus Nong kepada GenPI.co Sultra)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News