GenPI.co - Seminggu sejak kehadiran Dwi di kantor, Bayu terlihat begitu berbeda dari yang lalu-lalu. Lebih ceria, lebih hidup!
Dia kini datang lebih pagi, pakaiannya juga makin rapi. Tak ada lagi kemeja flanel dekil yang hampir tiap hari dipakainya itu.
Tak hanya itu, dia juga lebih wangi sekarang, dan yang lebih bikin tak percaya adalah potongan rambut barunya itu! Model undercut panjang dengan kuncir kecil di atasnya.
Jangan-jangan sebentar lagi frame kacamatanya mau ditukar dengan yang lebih classy.
Cowok memang begitu ya! Kalau sedang jatuh cinta, mendadak perhatian sekali dengan penampilannya.
Pernah suatu ketika kusinggung penampilan barunya itu. Aku bilang dia sudah berbeda 180 derajat.
Bayu membalas ejekanku dengan senyum kekanak-kanakan, menunjukkan lekuk di bibirnya yang selalu memesona meski waktu dirinya masih tampil dekil.
“Biasa aja Wen. Cuma pengin berubah aja,” katanya.
“Pesona Dwi udah sukses ngalahin kerasnya kepalamu ya?,” jawabku diiringi derai tawa lantaran wajahnya sontak bersemu merah.
Aku menganggap Bayu sebagai seorang sahabat. Satu-satunya sosok yang paling dekat denganku dibanding teman-teman lain di kantor ini.
Dia bergabung dan bekerja di sini kurang lebih 5 tahun lalu. Pertama kali bertemu dengannya, seketika itu pula kami dekat satu sama lain.
Chemistry antara aku dan Bayu terjalin hanya dalam satu jentikan jari. Begitu spontan, tetapi tak lekang.
Kata orang, hubungan pertemanan di kantor itu biasanya dangkal. Sebuah relasi yang didasari oleh adanya kepentingan antara satu dengan yang lain.
Motif dasarnya apa lagi kalau bukan soal pekerjaan. Kalau pun ada obrolan intens, isi pembicaraannya adalah nama rekan kerja lain atau atasan yang perilakunya agak nyebelin. Tidak pernah ada yang benar-benar tulus.
Namun, aku merasa hubunganku dengan Bayu jauh melebihi itu. Kami berdua begitu dekat sebagaimana hubungan sahabat.
Seolah-olah kami berdua telah melewatkan satu masa hidup bersama sehingga begitu mengenal satu sama lain.
Pertemuan kami berdua melewati batas meja kerja dan segala tetek bengeknya.
Aku sering menghabiskan waktu rumahnya, tak segan mengobrak-abrik isi kamarnya. Dia pun demikian.
Kami juga sering keluar bareng, makan dan ngopi bareng lalu nongkrong sampai pagi saat weekend karena sama-sama jomlo, atau sekadar naik motor boncengan menyaksikan sunset bercampur asap di kota yang pengap ini.
Kedekatanku dengan Bayu bahkan memunculkan rumor bahwa kami berdua memiliki hubungan romantis.
Bayu hanya diam saja dan tidak menyangkal atau mengiyakan kabar angin itu.
Begitu pun dengan aku, yang sebenarnya di dalam lubuk hatiku berharap lirik lagu lawas ‘Sahabat Jadi Cinta’ jadi kenyataan.
Jamal, Office Boy di kantor, agak blak-blakan kalau bicara kedekatan antara aku dan Bayu.
Entah kenapa dia begitu, mungkin karena dia mampu menangkap perasaanku yang muncul samar.
“Kenapa nggak jadian aja, Mbak,” katanya suatu kali.
“Sembarangan. Aku sama Bayu temean doang!” jawabku salting.
“Tapi Mbak Weni suka, kan? Ayo ngaku aja,” timpalnya yang membuatku diam tak berkutik.
“Zaman sekarang nggak perlu nunggu cowok nembak. Kalau suka ya bilang aja. Saya lihat kayaknya Mas Bayu juga kayaknya ada perasaan,” tambah dia.
Ucapan dalam itu terus terpatri benar di hati, membuatku mulai menimbang segala kemungkinan.
Bagaimana kalau Bayu juga suka? Kenapa tidak aku ungkapkan saja perasaan ini?
Tapi kalau dia cuma menganggapku sahabatnya, bagaimana? Nanti nasib persahabatan kami selepas itu?
Atau, apakah Bayu memang tahu kalau aku suka dia? Terus, kenapa dia diam saja?
Segala pertanyaan itu bagai beban yang terus menekan pundakku, mendera hati, menyiksa jiwa dan membuatku tak tahan lagi dan ingin segera melepasnya.
Namun bagaimana dengan Dwi? Gelagat Bayu memang menunjukkan ketertarikan dengan si anak baru itu.
Anak itu memang cantik. Pertama kali menginjakkan kaki di kantor dia sudah menjadi pusat perhatian, termasuk Bayu. Dan seketika itu pula ada perasaan cemburu yang menggelayut di kepala.
Tidak jarang kulihat Dwi memperhatikan Bayu dengan diam-diam.
Pandangannya begitu lekat sehingga seolah-olah hendak menelanjangi sahabatku itu, membuatku ingin menjambak dan membantingnya ke tanah.
Mungkinkah perubahan penampilan Bayu belakangan ini adalah reaksi alami pria lantaran diperhatikan oleh Dwi?
Hari ini aku menghabiskan makan siangku tanpa selera lantaran ucapan Jamal terus terngiang di telinga.
Dengan tergesa aku kembali ke kantor untuk menuntaskan segala hal yang berkecamuk dalam hati.
Namun asaku buyar ketika kembali ke ruangan kerja lantaran mendapati Dwi sedang makan ditemani Bayu yang duduk persis di sampingnya.
Samar kudengar ucapan Bayu yang mengajak gadis itu pergi ke suatu tempat. Dwi menimpali ajakan Bayu dengan anggukan genit yang menggelikan.
“Boleh, mas,” begitu jawabnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News