GenPI.co - Dina menghubungiku. Dia memberi tahu ada paket di kamarnya. Paket buatku. Aku memang sedang di kantor.
“Ntar gue ambil,” ujarku.
Tugasku sedang menumpuk. Sepertinya pekerjaanku tidak pernah selesai. Setiap saat selalu ada pekerjaan baru.
Aku sampai lupa menanyakan paket dari siapa. Begitulah aku. Aku tidak peduli dengan hal lain ketika sedang bekerja.
Yang ada di pikiranku hanyalah segera menyelesaikan tugasku. Aku juga tidak peduli dengan orang-orang di sekelilingku.
“Cieeeee,” Dina menggodaku.
Aku tersenyum tipis. Aku berusaha menyembunyikan kebahagiaanku. Ada paket dari Bobi. Laki-laki yang kucintai.
Aku dan Bobi sama-sama mencintai. Namun, kami tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai pasangan kekasih.
Kami hanya menjalani seperti orang biasanya ketika pacaran. Lagi pula umur kami sepertinya sudah tidak pantas saling menembak.
Usiaku sudah 30 tahun. Bobi dua tahun lebih tua. Usia yang sebenarnya sangat layak untuk menikah. Bobi beberapa kali memintaku menjadi pacarnya.
Kubuka paket darinya. Jam tangan. Warna biru. Jam tangan yang memang sudah kuincar sejak cukup lama.
Aku jadi ingat kenapa Bobi bisa membelikan jam tangan itu. Beberapa waktu lalu aku dan dia berjalan-jalan di mal.
“Jamnya bagus, ya?” tanyaku kepada Bobi.
Bobi mengangguk. Aku memang hanya iseng mencobanya. Memang bagus, sih, tetapi aku belum berniat membelinya.
“Nggak dibeli?”
“Nggak, ah. Besok-besok aja,”
Kami keluar. Sejak saat itu, aku sudah tidak teringat lagi tentang jam tangan tersebut. Namun, Bobi ternyata mengingatnya.
Aku membaca kertas di dalam kota kado itu. Tulisan Bobi. Aku hafal banget gaya tulisannya.
“Tunggu setahun lagi. Aku dan kamu jadi kita,”
Aku termenung. Namun, hatiku bungah. Entah kenapa aku merasa kali ini sangat bahagia. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News