GenPI.co - Belum ada pesan masuk ke HP-ku dari Ronal. Entah ke mana cowok itu. Padahal, pikiranku sudah kacau.
Ketenanganku terusik. Ronal sudah seharian tidak memberi kabar. Dia menghilang begitu saja.
Aku sudah berdandan rapi. Malam ini spesial. Hari yang mana aku dan Ronal sudah menjalin hubungan selama lima tahun.
Perjalanan yang tidak pendek. Kami melaluinya dengan jalan berliku. Semuanya tidak selalu mudah.
Selalu ada halangan mengadang. Namun, kami selalu bisa melaluinya. Entah bagaimanapun caranya.
Sudah pukul delapan malam. Ronal tidak juga memberi kabar. Jangan-jangan dia lupa. Batinku.
Aku gelisah sendiri. Aku mengambil HP, lalu meneleponnya. Mati. Mungkin dia kehabisan baterai HP. Aku berinisiatif menelepon kafenya.
“Sudah nggak ada di kafe, Mbak Rani,” ujar Andi, pegawai di kafe.
Ronal memang memiliki kafe di Yogyakarta. Dia juga mempunyai beberapa kamar indekos. Usahanya cukup banyak.
Aku sampai heran sendiri. Entah otaknya dibuat dari apa. Entah tenaganya dari mana. Aku yang membayangkannya saja sudah merasa lelah.
Ronal tiba-tiba muncul. Dia tersenyum lebar. Tidak ada rasa bersalah di matanya. Senyumnya lebar banget.
“Dari mana, sih?”
“Nggak dari mana-mana,”
Ronal memelukku. Pelukan yang hangat. Aku merasakan aliran cinta dari dalam dadanya.
Ronal langsung menarik tanganku, lalu mengajakku masuk mobilnya. Wangi. Ronal memutar lagu.
Entah kenapa aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Entah mantra apa yang dia keluarkan. Aku sampai tidak bisa berpaling darinya.
Jangankan berpaling. Aku justru takut jika tidak bisa memilikinya seutuhnya. Sampai tua nanti.
Aku sudah benar-benar menaruh harap dan hati kepadanya. Bagiku, mencintainya adalah kewajiban. Memilikinya adalah keharusan.
Kami sampai di kafe. Kafe tempat kali pertama kami kencan. Di kafe itu juga Ronal menyatakan perasaannya lima tahun lalu.
Ronal tidak banyak bicara. Seperti biasanya. Dia mungkin lelah. Aku juga tidak terlalu memaksa.
Kubiarkan dia larut dalam pikirannya sendiri. Aku menikmati alunan lagu di kafe itu.
“Bulan depan aku ketemu mamamu, ya?” kata Ronal.
“Ya, ketemu aja. Kayak apa aja, sih,”
Aku merasa aneh dengan ucapannya. Tiba-tiba Ronal mengambil sebuah kotak, lalu membukanya di depanku. Cincin yang indah.
Aku terpaku. Mulutku kelu. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata apa pun dari mulutku, (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News