Protes Meluas, Militer Myanmar Gunakan Meriam Bungkam Pedemo

09 Februari 2021 14:02

GenPI.co - Pihak berwenang di Myanmar mengancam akan mengambil tindakan terhadap ribuan pengunjuk rasa yang melanggar hukum yang turun ke jalan di Naypyidaw.

Pernyataan itu dibacakan oleh seorang penyiar di MRTV yang dikelola pemerintah Myanmar pada Senin (8/2/2021) atas adanya pelanggaran hukum dan ancaman kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu.

BACA JUGA: OMG! China Akan Bangun Bendungan Terbesar di Dunia, Ini Tujuannya

“Tindakan harus diambil sesuai dengan hukum dengan langkah efektif terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik dan supremasi hukum,” demikian pernyataan itu, seperti dilansir dari Reuters, Selasa (9/2/2021).

Para jenderal yang berkuasa sejauh ini menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan mematikan untuk memadamkan demonstrasi, tetapi memiliki sejarah panjang dalam melakukannya di masa-masa kekacauan sebelumnya.

Diketahui, seruan untuk bergabung dalam protes dan mendukung kampanye pembangkangan sipil semakin keras dan terorganisir sejak kudeta 1 Februari, yang menuai kecaman internasional yang meluas.

Di Yangon, perawat, guru, pegawai negeri dan biksu bergabung dalam protes, mereka memegang papan bertuliskan "Katakan tidak pada kediktatoran" dan "Kami ingin demokrasi".

Selain itu, para pengunjuk rasa mengibarkan bendera Buddha warna-warni di samping spanduk merah dengan warna Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi.

Pengugunjuk rasa juga menyerukan "Bebaskan Pemimpin Kami, Hormati Suara Kami, Tolak Kudeta Militer."

Seorang perawat di rumah sakit pemerintah, Aye Misan, mengatakan bahwa petugas kesehatan ingin semua staf pemerintah bergabung dalam protes tersebut.

"Pesan kami kepada publik adalah bahwa kami bertujuan untuk sepenuhnya menghapus rezim militer ini dan kami harus berjuang demi takdir kami," katanya.

Sedangkan, seorang insinyur, Kyaw Zin Tun, yang memprotes di Yangon, menerangkan bahwa dia mengikuti protes tersebut karena dia ingat rasa takut yang dia rasakan tumbuh di bawah pemerintahan militer selama masa kanak-kanaknya di tahun 1990-an.

“Dalam lima tahun terakhir, di bawah pemerintahan demokrasi, ketakutan kami hilang. Tapi sekarang ketakutan kembali lagi bersama kami, oleh karena itu, kami harus membuang junta militer ini demi masa depan kami semua,” jelas pria berusia 29 tahun itu.

Ribuan juga berbaris di kota selatan Dawei dan di ibu kota negara bagian Kachin yang jauh di utara, Myitkyina. Kerumunan besar yang mencerminkan penolakan kekuasaan militer oleh berbagai kelompok etnis.

Untuk menanggapi protes besar-besaran itu, dilaporkan terdapat sebuah konvoi truk militer tiba di Yangon, ini menimbulkan kekhawatiran.

BACA JUGA: Cerita Muslim Inggris Menerima Vaksin Covid-19 di Masjid

Selain itu, kelompok hak asasi menyatakan kekhawatiran atas penggunaan meriam air oleh polisi di Naypyidaw, mencatat bahwa pedoman PBB membatasi penggunaan peralatan semacam itu untuk skenario terbatas, dan tidak pernah dalam jarak dekat.

Otoritas militer Myanmar terkini juga telah memutus akses ke internet. Larangan sepanjang hari yang memicu lebih banyak kemarahan di negara yang takut kembali ke isolasi dan kemiskinan yang lebih besar selama 50 tahun pemerintahan militer dari 1962-2011.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co