GenPI.co - Utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener menyebut perang saudara besar di Myanmar adalah risiko yang nyata setelah kudeta militer 1 Februari lalu.
Hal itu Burgener katakan di depan 193 anggota Majelis Umum PBB dalam sidang pada hari Jumat (18/3).
"Waktu sangat penting. Kesempatan untuk membalikkan pengambilalihan militer menyempit," kata Schraner Burgener.
Dalam sidang itu, Majelis Umum mengadopsi resolusi yang menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar.
Mereka juga mendesak militer untuk menghormati hasil pemilihan November dan membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi.
Olof Skoog, Duta Besar Uni Eropa untuk PBB mengatakan resolusi itu mengirim pesan yang kuat dan kuat.
"Ini mendelegitimasi junta militer, mengutuk penyalahgunaan dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri dan menunjukkan isolasi di mata dunia,” ucap Skoog
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebelumnya pada hari Jumat mendorong Majelis Umum untuk bertindak.
"Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Ini sama sekali tidak dapat diterima," katanya kepada wartawan.
Resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum tetapi membawa bobot politik.
Berbeda dengan Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.
Pasukan junta telah membunuh lebih dari 860 orang sejak kudeta, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Junta mengatakan jumlahnya jauh lebih rendah.
Resolusi PBB menyerukan militer Myanmar untuk segera menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai dan mengakhiri pembatasan di internet dan media sosial.
Majelis Umum juga meminta Myanmar untuk segera menerapkan konsensus lima poin yang dibuat dengan ASEAN pada April lalu.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News